Sebuahiman yang tak bisa kita pertanggungjawabkan saat dewasa, karena ia hadir sebagai warisan dan dianut lebih sebagai sebuah tradisi. Padahal, jika sejenak kita berpikir dan menyadari, sebenarnya Tuhan-nya anak-anak adalah pemahaman tentang Tuhan yang lebih mengena. Pasalnya, dalam imajinasi dan pikiran anak-anak, Tuhan benar-benar
DalamIslam, koperasi tergolong sebagai syirkah/syarikah. Lembaga ini adalah wadah kemitraan, kerjasama, kekeluargaan, dan kebersamaan usaha yang sehat, baik, dan halal. Dan, lembaga yang seperti itu sangat dipuji Islam seperti dalam firman Allah, “Dan bekerjasamalah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah saling bekerjasama dalam
skripsiini selain meneliti mengenai pandangan pemikiran keduanya yang berbeda, penulis juga akan meneliti persamaan dari kedua tersebut.Kedua tokoh ini adalah Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dan Abdurrahman Wahid. 2. Alasan Subjektif a. Kajian tentang konsep khilafah dalam pandangan Taqiyuddin An
Fast Money. Abstrak Kajian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana demokrasi dalan tinjauan Islam khususnya dalam kajian tafsir maudhu'i. Dengan menggunakan pendekatan studi pustaka library research, artikel ini berusaha mempertemukan antara konsep Islam yang oleh sebagian ulama dikatakan mempunyai sistem politik tersendiri yang lengkap, sempurna dan menyeluruh, namun disatu sisi dihadapkan pada kenyataan seolah sistem demokrasi yang saat ini dianggap sebagai sistem politik terbaik, diterima dan dipakai di seluruh dunia. Secara normatif doktriner, dalam ajaran Islam terdapat prinsip-prinsip dan elemen dalam demokrasi, meskipun secara generik, global tidak sepenuhnya disetujui para ulama dan masih menjadi perdebatan yang panjang. Prinsip dan elemen-elemen demokrasi dalam ajaran Islam itu adalah as-syura, al-'adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Realitas dalam sebuah negara pernah diterapkan pada masa Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin adalah syumuliyatul Islam dan demokrasi hanyalah sebagian kecil dari lengkapnya sistem politik Islam yang sempurna dan telah dipraktikkan namun tebum terteorikan. Abstract This article aims to analyze how democracy in Islamic views, especially in the study of tafsir maudhu'i. By using a library research approach, this article seeks to bring together the concept of Islam which is said by some scholars to have its own complete, perfect and comprehensive political system, but on the one hand it is faced with the reality as if the democratic system is currently considered the best political system. , accepted and used throughout the world. In doctrinaire normative terms, in Islamic teachings there are principles and elements in democracy, although generically, globally it is not fully approved by the scholars and is still a long debate. The principles and elements of democracy in Islamic teachings are as-shura, al-'adalah, al-amanah, al-masuliyyah and al-hurriyyah. The reality in a country that was applied at the time of Prophet Muhammad and khulafaurrasyidin is syumuliyatul Islam and democracy is only a small part of the complete Islamic political system that is perfect and has been practiced but can be theoretical. Pendahuluan Wacana demokrasi terus bergulir, ia pun seakan menjadi 'juru selamat' bagi ketidakberdayaan rakyat yang tereksploitasi oleh rezim yang totaliter dan represif. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Demokrasi Dalam Islam Tinjauan Tafsir Maudhu’ Achmad Zulham dan SolihinPascasarjana Prodi IQT Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Raden FatahPalembang. Email Kajian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana demokrasi dalan tinjauanIslam khususnya dalam kajian tafsir maudhu’i. Dengan menggunakan pendekatan studipustaka library research, artikel ini berusaha mempertemukan antara konsep Islamyang oleh sebagian ulama dikatakan mempunyai sistem politik tersendiri yang lengkap,sempurna dan menyeluruh, namun disatu sisi dihadapkan pada kenyataan seolah sistemdemokrasi yang saat ini dianggap sebagai sistem politik terbaik, diterima dan dipakai diseluruh dunia. Secara normatif doktriner, dalam ajaran Islam terdapat prinsip-prinsipdan elemen dalam demokrasi, meskipun secara generik, global tidak sepenuhnyadisetujui para ulama dan masih menjadi perdebatan yang panjang. Prinsip dan elemen-elemen demokrasi dalam ajaran Islam itu adalah as-syura, al-adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Realitas dalam sebuah negara pernah diterapkan padamasa Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin adalah syumuliyatul Islam dan demokrasihanyalah sebagian kecil dari lengkapnya sistem politik Islam yang sempurna dan telahdipraktikkan namun tebum terteorikan. Kata kunci Demokrasi Islam, Tafsir Maudhu’i Abstract This article aims to analyze how democracy in Islamic views, especially in thestudy of tafsir maudhu'i. By using a library research approach, this article seeks to bringtogether the concept of Islam which is said by some scholars to have its own complete,perfect and comprehensive political system, but on the one hand it is faced with thereality as if the democratic system is currently considered the best political system. ,accepted and used throughout the world. In doctrinaire normative terms, in Islamicteachings there are principles and elements in democracy, although generically, globallyit is not fully approved by the scholars and is still a long debate. The principles andelements of democracy in Islamic teachings are as-shura, al-'adalah, al-amanah, al-masuliyyah and al-hurriyyah. The reality in a country that was applied at the time ofProphet Muhammad and khulafaurrasyidin is syumuliyatul Islam and democracy is onlya small part of the complete Islamic political system that is perfect and has beenpracticed but can be Islamic Democrazy, Tafsir Maudhu’iPendahuluanWacana demokrasi terus bergulir, ia pun seakan menjadi juru selamat’ bagiketidakberdayaan rakyat yang tereksploitasi oleh rezim yang totaliter dan Demokrasi tidak hanya menjadi wacana akademis, tetapi juga simbol dari sebuah sistempemerintahan, termasuk ketika terjadi tragedi kemanusiaan yang menimpa gedungkembar WTC dan Pentagon, 11 September 2001 lalu. Menurut presiden George W. Bush,tragedi tersebut dianggap sebagai upaya penghancuran demokrasi. Karena iamenganggap bahwa Amerika-lah representasi negara demokrasi di dunia. Dengandemikian, siapa pun yang mencoba mengganggu dan apalagi berani menghancurkanAmerika, berarti mereka penentang demokrasi yang harus dilawan dan dibasmi. Tanpademokrasi memang, suatu rezim sekuat apa pun sulit untuk memperoleh legitimasi darirakyat, bila hal ini terjadi maka sebuah negara tak akan mampu menggerakkan rodapemerintahannya. Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia,partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sinikemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite persamaan, equalitykeadilan, liberty kebebasan, human right hak asasi manusia dan seterusnya. Dalamtradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadipemerintah’ bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yangbertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di duniaBarat menganggap sebagai pioner dan garda terdepan demokrasi. Lembaga legislatifbenar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dandistributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkinsemua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalubesar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsipamanah dan tanggung jawab credible and accountable menjadi keharusan bagi setiapanggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikanhak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunyaperwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah. Dalam pandangan Islam sebagai agama yang lengkap dan sempurna, meletakkandemokrasi hanyalah sebuah sebuah sistem ciptaan manusia, yang menjadi bagian kecildari lengkapnya dan luasnya sistem Islam. Jika sesuai dengan nilai-nilai Islam maka itubagian yang ada dann telah diajarkan Islam dan silahkan diambil dan Sebaliknya, jika tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, maka sesungguhnya Islam telahmempunyai dan menawarkan pilihan-pilihan yang lebih Terminologi DemokrasiAda banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang demokrasi, diantaranya seperti yang dikutip Hamidah2 adalah sebagaimana di bawah ini MenurutJoseph A. Schumpeter, demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapaikeputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suatu rakyat. Sidney Hook dalam EncyclopaediaAmericana mendefinisikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan di manakeputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakanmereka pada wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsungmelalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil mereka yang terpilih. 4 Dari tiga definisitersebut di atas jelaslah bagi kita bahwa demokrasi mengandung nilai-nilai, yaitu adanyaunsur keperacayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat, adanya pertanggungjawaban bagi seorang pemimpin. Sementara menurut Abdurrahman Wahid, demokrasi mengandung dua nilai, yaitunilai yang bersifat pokok dan yang bersifat derivasi. Menurut Abdurrahman Wahid, nilaipokok demokrasi adalah kebebasan, persamaan, musyawarah dan keadilan. Kebebasanartinya kebebasan individu di hadapan kekuasaan negara dan adanya keseimbanganantara hak-hak individu warga negara dan hak kolektif dari NurcholishMajid, seperti yang dikutip Nasaruddin 6mengatakan, bahwa suatu negara disebutdemokratis sejauhmana negara tersebut menjamin hak asasi manusia HAM, antara lain1 Razzaq, A. 2017. Dakwah dan Pemikiran Politik Islam Kajian Teoritis dan NoerFikri Hamidah, Tutik, “Konsep Demokrasi dalam Perspektif Muslim” dalam Majalah El-Harakah,No. 52 Tahun 1999. XVIII, hal. 33. 3 Hamidah, Tutik,”Konsep Demokrasi dalam Perspektif Muslim” dalam Majalah el-Harakah,… Hamidah, Hamidah, Tutik,”Konsep Demokrasi dalam Perspektif Muslim” dalam Majalah el-Harakah,… Zainuddin.. “Islam Tak Kompatibel Dengan Demokrasi?” dalam Jaringan Islam Liberal, JawaPos, 10 Februari. 20026 Umar, Nasaruddin. “Demokrasi dan Musyawarah Sebuah Kajian analitis” dalam JurnalKomunikasi Perguruan Tinggi Islam, Perta, Vol. V. No. 12002. Hal. 36. 3 kebebasan menyatakan pendapat, hak berserikat dan berkumpul. Karena demokrasimenolak dektatorianisme, feodalisme dan otoritarianisme. Dalam negara demokrasi,hubungan antara penguasa dan rakyat bukanlah hubungan kekuasaan melainkanberdasarkan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia HAM. Demokrasi Dalam Perspektif Tafsir Mau’dhu’iDi dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang terkait dengan prinsip-prinsiputama demokrasi, antara lain QS. Ali Imran 159 dan al-Syura 38 yang berbicaratentang musyawarah; al-Maidah 8; al-Syura 15 tentang keadilan; al-Hujurat 13tentang persamaan; al-Nisa’ 58 tentang amanah; Ali Imran 104 tentang kebebasanmengkritik; al-Nisa’ 59, 83 dan al-Syuro 38 tentang kebebasan berpendapat Jikadilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin, agama dan demokrasi memangberbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumpulanpemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namunbegitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengandemokrasi. Sebagaimana dijelaskan di depan, bahwa elemen-elemen pokok demokrasidalam perspektif Islam meliputi as-syura, al-musawah, al-adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Kemudian apakah makna masing-masing dari elementersebut? As-SyuraSyura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secaraeksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura 38“Dan urusan mereka diselesaikan secara musyawarah di antara mereka”. Dalam suratAli Imran159 dinyatakan “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksanasyura adalah ahl halli wa-laqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebihmenyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah, jelaslahbahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawabbersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiapkeputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang7 Umar, Nasaruddin. “Demokrasi dan Musyawarah Sebuah Kajian analitis” dalam JurnalKomunikasi Perguruan Tinggi Islam, hal. 36 dan lihat al-Mu’jam al-Mufahras li alfaz al-Qur’an al-Karim4 lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama. Begitupentingnya arti musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupunbernegara, sehingga Nabi sendiri juga menyerahkan musyawarah kepada umatnya. Al-Adalahal-adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasukrekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil danbijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalamsebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antaralain dalam surat an-Nahl 90 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil danberbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji,kemungkaran dan permusuhan”. Lihat pula, QS. as-Syura15; al-Maidah8; An-Nisa’58dst.. Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil tanpapandang bulu ini, banyak ditegaskan dalam al-Qur’an, bahkan disebutkan sekali punharus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat. Nabi juga menegaskan, ,bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika “orang kecil” melanggarpasti dihukum, sementara bila yang melanggar itu “orang besar” maka dibiarkan prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapanyang “ekstrem” berbunyi “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir,sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara yang mengatasnamakanIslam”9 Al-Musawah al-Musawah adalah kesejajaran, egaliter, artinya tidak ada pihak yang merasalebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidakbisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemonipenguasa atas rakyat. Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan8 Lihat Aswab Mahasin dalam Imam Aziz, ed. Agama, Demokrasi dan Keadilan, Jakarta,Gramedia. 1999, hal. 30. Lihat juga Haryono, A., & Razzaq, A. 2017. Analisis Metode Tafsir MuhammadAsh-Shabuni dalam Kitab rawâiu’ al-Bayân. Wardah, 181, Madani, Malik. “Syura, Sebagai Elemen Penting Demokrasi” dalam Jurnal Khazanah,UNISMA Malang, 1999. hal 12. 5 adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telahdibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyatdemikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikapdan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al- Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat13, sementara dalil Sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalamkhutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim. Dalam hal ini Nabipernah berpesan kepada keluarga Bani Hasyim sebagaimana sabdanya “Wahai BaniHasyim, jangan sampai orang lain datang kepadaku membawa prestasi amal, sementarakalian datang hanya membawa pertalian nasab. Kemuliaan kamu di sisi Allah adalahditentukan oleh kualitas takwanya”. Al-Amanahal-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorangkepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga denganbaik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaanoleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasatanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil. Sehingga Allah dalam surat an-Nisa’ 58 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu supayamenyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamuapabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”.Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisadiminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malahbersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam. Al-Mas’uliyyah al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui, bahwakekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yangharus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harusdipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini memiliki dua pengertian, yaitu amanahyang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus10 Hasan, Tholchah, “Hak Sipil dan Hak Rakyat dalam Wacana Fiqh” dalam Jurnal Khazanah,UNISMA Malang, . 1999. hal. 26. 6 dipertenggungjawabkan di depan Tuhan. Sebagaimana Sabda Nabi Setiap kamu adalahpemimpin dan setiap pemimpin dimintai pertanggung jawabannya. Seperti yangdiakatakn oleh Ibn Taimiyyah11, ’’bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalammengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya”.Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban al-masuliyyah ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat demikian, pemimpin/ penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah penguasa umat, melainkan sebagai khadim al-ummah pelayan umat. Dusdengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalamsetiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umatditinggalkan. Al-Hurriyyah Al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap wargamasyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjanghal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dandalam rangka al-amr bi-l-ma’ruf wa an-nahy an al-munkar, maka tidak ada alasanbagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanyakemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosialbagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, makakezaliman akan semakin merajalela. Patut disimak sabda Nabi yang berbunyi “Barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka hendaklah diluruskan dengan tindakan, jika tidakmampu, maka dengan lisan dan jika tidak mampu maka dengan hati, meski yang terakhirini termasuk selemah-lemah iman”. Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dusdengan demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil. Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dandemokratis. Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupankongkret di masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di duniaIslam dalam sejarahnya? Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriteryang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktik-praktik yang dilakukan oleh11 Madani, Malik. “Syura, Sebagai Elemen Penting Demokrasi” dalam Jurnal Khazanah,UNISMA Malang, 1999. hal 13. 7 sebagian penguasa Bani Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untukmelegitimasi bahwa Islam agama yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga adaeksperimen demokratisasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dankhulafaurrasyidin. Adalah merupakan dalil sosial, bahwa dalam setiap masyarakatterdapat pemimpin dan yang dipimpin, penguasa dan rakyat, serta muncul stratifikasisosial yang berbeda. Demikian pula pada zaman pra-Islam Jahiliyyah muncul kelassosial yang timpang, yaitu kelas elit-penguasa dan kelas bawah yang tertindas. Kelasbawah ini seringkali menjadi ajang penindasan dari kelompok elit. Pada masa jahiliyah kekuasaan dan konsep kebenaran milik kekuasaan dan kebenaran di tangan penguasa tersebut mengakibatkanterjadinya manipulasi nilai untuk memperkuat dan memperkokoh posisi mereka sekaligusmenindas yang lemah. Proses seperti ini berlangsung cukup lama tanpa ada perubahanyang berarti. Dalam kondisi seperti itu, terdapat dua stratifikasi sosial yang berbeda, yaitumaysarakat kelas atas elit yang hegemonik, baik sosial maupun ekonomi bahkankekerasan fisik sekalipun, dan kelas bawah subordinate yang tak berdaya. Demikianlahsetting sosial-politik yang terjadi pada masyarakat Arab Makkah-Madinah seperti kata Guillaume,12 komunitas Yahudilah yang telah mendominasi kekuasaanpolitik dan ekonomi saat itu, hingga kemudian nabi Muhammad datang merombakstruktur masyarakat yang korup tersebut. Nabi hadir membawa sistem kepercayaan alternatif yang egaliter danmembebaskan. Karena ajaran yang disampaikan nabi membawa pesan bahwa segalaketundukan dan kepatuhan hanya diberikan kepada Allah, bukan kepada manusia. Karenakebenaran datang dari Allah, maka kekuasaan yang sebenarnya juga berada padakekuasaan-Nya, bukan kepada raja. Secara empirik kemudian Nabi melakukan gerakanreformasi dengan mengembalikan kekuasaan dari tangan raja kelompok elit kepadakekuasaan Allah melalui sistem musyawarah. Kehadiran Nabi tersebut membawa angin segar bagi “masyarakat baru” yangmendambakan sebuah kondisi sosial masyarakat yang adil dan beradab. Karena apa yangdibawa Nabi sebetulnya sistem ajaran yang menegakkan nilai-nilai sosial persamaanhak, persamaan derajat di antara sesama manusia, kejujuran dan keadilan akhlaqhasanah. Selain itu, sesuai posisinya sebagai pembawa rahmat, Nabi terus berjuangmerombak masyarakat pagan-jahiliyah menuju masyarakat yang beradab, atau dalambahasa al-Qur’an disebut min-’l-Dhulumat ila-’l-Nur lihat QS. Al-Baqarah257, al-12 Guillaume, Alfred. I s l a m, England, Pinguin Books. 1956, hal. 118 Maidah15, al-Hadid 9, al-Thalaq10-11 dan al-Ahzab41-43. Masyarakat Arabsebelum Islam Jahiliyah terdiri dari kabilah-kabilah, setiap kabilah mengembangkanfanatisme ashabiyyat kabilahnya, sehingga diantara mereka terjerumus dalampertentangan, kekecauan politik dan sosial. Diantara mereka tidak mengenal persamaan,tetapi bersaing dan saling mengunggulkan keleompoknya dan terjadi seperti ini kemudian menggugah Nabi Muhammad untuk merubahnya danmengarahkan kepada persamaan dan kesetaraan antar mereka, Sebab persamaan tersebutsejalan dengan kemaslahatan umum yang menjamin hak-hak istemewa diantara mereka, sebab prinsip persamaan dalam Islam adalah pengakuan hak-hak yang sama antara kaummuslimin dan bukan kurang lebih 10 tahun di Madinah Nabi telah melakukan reformasisecara gradual untuk menegakkan Islam, sebagai sebuah agama yang memiliki perhatianbesar terhadap tatanan masyarakat yang ideal. Dan masyarakat yang dibangun Nabi saatitu adalah masyarakat pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama dan seperti yang dikehendaki dalam rumusan piagam Madinah adalahmasyarakat yang memiliki kesatuan kolektif dan ingin menciptakan masyarakat muslimyang berperadaban tinggi, baik dalam konteks relasi antar manusia maupun denganTuhan. Sebagai seorang pemimpin, Nabi memiliki kekuatan moral yang tinggi. Kasihsayang terhadap golongan yang lemah seperti kaum feminis, para janda dan anak-anakyatim menunjukkan komitmen moralnya sebagai seoarang pemimpin umat yang kesempatan pidato terakhirnya di padang Arafah misalnya, beliau berpesankepada para pengikutnya supaya memperlakukan kaum wanita dengan baik dan bersikapramah terhadap mereka. “Surga di bawah telapak kaki ibu”, jawab nabi ketika salahseorang sahabat bertanya tentang jalan pintas masuk surga, Kalimat tersebut diulangsampai tiga kali. Salah satu sifat pemaaf dan toleransi nabi yang luar biasa adalah tampak padakasus Hindun, salah seorang musuh Islam yang dengan dendam kusumatnya tegamemakan hati Hamzah, seoarng paman nabi sendiri dan pahlawan perang yangterhormat. Kala itu orang hampir dapat memastikan bahwa nabi tidak akan pernahmemaafkan seorang Hindun yang keras kepala itu, ternyata tak diduga-duga ketika kota13 Pulungan, Suyuti. Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah. Jakarta, Rajawali Press, 1994. hal. 150. Lihat juga Fikri, M., & Razzaq, A. 2016. Konsep Demokrasi Islam Dalam Pandangan Kuntowijoyo Studi Pada Sejarah Peradaban Islam. Wardah, 161, Makkah berhasil dikuasai oleh orang Islam dan Hindun yang menjadi tawanan perang itupada akhirnya sikap nabi yang begitu mulia tersebut dengan serta merta Hindun sadardan menyatakan masuk Islam seraya menyatakan, bahwa Muhammad memang seorangrasul, bukan manusia biasa. Tidak hanya itu saja, sikap politik nabi yang sangat sulituntuk ditiru oleh seorang pemimpin modern adalah, pemberian amnesti kepada semuaorang yang telah berbuat kesalahan besar dan berlaku kasar kepadanya. Tetapi dengansikap nabi yang legowo dan lemah lembut itu justru membuat mereka tertarik denganIslam. Seperti yang dicatat oleh Akbar S. Ahmed seorang penulis sejarah Islamkenamaan dari Pakistan, bahwa penaklukan Makkah oleh nabi yang hanya menelankorban kurang dari 30 jiwa manusia itu merupakan kemenangan perang yang palingsedikit menelan korban jiwa di dunia dibanding dengan kemenangan beberapa revolusibesar lainnya seperti Perancis, Rusia, Cina dan Hal ini bisa dipahami karena perang dalam perspektif Islam bukan identik denganpenindasan, pembunuhan dan penjarahan, seperti yang dituduhkan sebagian kaumorientalis selama ini, melainkan lebih bersifat mempertahankan diri. Oleh sebab itusecara tegas nabi pernah menyatakan “Harta rampasan perang tidak lebih baik daripada daging bangkai”. Demikian juga larangannya untuk tidak membunuh kaumperempuan, anak-anak dan mereka yang menyerah kalah. Nilai-nilai islami yangtercermin dalam figur nabi yang melampaui batas ikatan primordialisme dansektarianisme memberikan rasa aman dan terlindung bagi masyarakat yang nabi dengan seorang istri dari luar rumpun keluarga, kecintaannya terhadapBilal, seorang budak kulit hitam yang menjadi muazzin pertama Islam dan pidatonyapada kesempatan haji wada’ di Arafah yang menentang pertikaian suku dan kasta telahmembuktikan sikap arif dan bijak kepemimpinannya. Pengalaman demokrasi telahdipraktikkan Nabi dalam memimpin masyarakat Madinah. Dalam hal keteguhanberpegang kepada aturan hukum misalnya, masyarakat Madinah yang dipimpin Nabitelah memberi teladan yang sebaik-baiknya. Sejalan dengan perintah Allah kepada siapapun agar menunaikan amanah yang diterima dan menjalankan hukum dan tata aturanmanusia dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Dimana dengan kepastian hukum14 Ahmad, Akbar S. Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahan Nunding Ramdan Ali Yaqub, Jakarta, Erlangga,1992. 10 tersebut melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing warga dapatmenjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap. Karena seperti ungkapan Nurcholis Majid16 kepastian hukum itu pangkal daripaham yang amat teguh, bahwa semua orang adalah sama sawasiyyat dalam kewajibandan hak dalam mahkamah, dan keadilan tegak karena hukum dilaksanakan tanpamembedakan siapa terhukum itu, satu dari yang Kebijakan-kebijakan Nabi dalammemimpin umat di Madinah tertuang dalam Piagam Madinah, yang mengatur kehidupanbermasyarakat dan berbangsa. Piagam Madinah menjadi dasar kehidupan bermasyarakatyang mengatur berbagai persoalan umat, meliputi persatuan dan persaudaraan, hubunganantar umat beragama, perdamaian, persamaan, toleransi, kebebasan dst. Prinsip-prinsiptersbut telah diterapkan Nabi dan berhasil dengan baik, sehingga tercipta suasanakehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berbegara dengan aman dan penuh kedamaiandalam masyarakat yang majmuk, baik ditinjaua dari aspek, agama, etnis maupun budaya. Sampai pada masa khulafaurrasyidin, praktik demokrasi itu masih berlangsungdengan baik, meski ada beberapa kekurangan. Kenyataan ini menunjukkan, bahkwademokratisasi pernah terwujud dalam pemerintahan Islam. Memang harus diakui, pascaNabi dan khulafaurrasyidin karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quoraja-raja Islam demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin,16 bahwadi beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahanraja-raja yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu ternyata juga dialami oleh pemeluk agama lain. GerejaKatolik misalnya, bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikaptersebut, kemudian agama Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang samaternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, dimana pada awal munculnya,dengan reformasi Martin Luther, Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikanposisi kaum tani dan buruh. Tak mengherankan kalau Kristen pun disebut kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama di atas, maka tesisHuntington dan Fukuyama yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam15 Majid, “Hukum dan Keadilan” dalam Jurnal Paramadina, Vol I No. 1 Juli-Desember, 1998, hal. 54. 16 Lihat, Mahasin dalam Imam Aziz, ed. Agama, Demokrasi dan Keadilan, Jakarta, Gramedia. 1999, hal. x-xi, Hefner, Robert W. Civil Islam, Muslim and Democratization ini Indonesia, Princeton University Press, 2000, 4-5. Lihat juga Razzaq, A., & Saputra, D. 2016. Studi Analisis Komparatif Antara Ta’wil dan Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an. Wardah, 172, 89-114. 11 tidak kompatibel dengan demokrasi” adalah tidak sepenuhnya benar. Bahkan Huntingtonmengidentikkan demokrasi dengan The Western Christian Connection17 Mengikutiperspektif Akbar S. Ahmed, dengan menggunakan paradigama tipologi, maka dalamsejarah Islam terdapat dua tipe, ideal dan non-ideal. Tipe ideal bersumber dari kitab sucidan kehidupan Nabi sirah Nabawiyah, sunnah.18 Tipe ideal adalah tipe yang palingabadi dan taat azaz konsisten. Sejarah Islam sosial umat Islam mengandung banyakbukti yang menunjukkan adanya hubungan dinamis antara masyarakat dengan upaya paraulama’ dan para intelektual Muslim untuk mencapai model ideal. Wawasan dan tipe idealtersebut membuka peluang timbulnya dinamika dalam masyarakat Muslim. Ketika dalamproses pergumulan sejarahnya inilah umat Islam menghadapi tantangan yang berat dankerapkali jauh dari wilayah yang ideal tadi. Itulah maka ada term Islam ideal dan Islamhistoris. Dengan demikian, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnyamenyangkut soal persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakanmusyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktikdemokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring dengan kompleksitasproblem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkutkomitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian, memperhatikanrelasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyakvariabel, termasuk variabel independen non-agama. Sementara itu Bahtiar Effendymenegaskan, bahwa kurangnya pengalaman demokrasi di sebagian besar negara Islamtidak ada hubungannya dengan dimensi “interior” ajaran Secara teologis menurutEffendy, bahwa kegagalan banyak negara Islam untuk mengembangkan mekanismepolitik yang demokratis antara lain karena adanya pandangan yang legalistik danformalistik dalam melihat hubungan antara Islam dan politik. Oleh karenanya menurutEffendy perlu pendekatan substansialistik terhadap ajaran Islam agar dapat mendorongterciptanya sebuah sintesa yang memungkinkan antara Islam dan demokrasi. 17 Lihat, Mahasin dalam Imam Aziz, ed. Agama, Demokrasi dan Keadilan,…hal. x-xi18 Ahmad, Akbar S.. Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahan Nunding Ramdan Ali Yaqub, Jakarta, Erlangga, 1992, hal. 3-4. Lihat juga Baiti, R., & Razzaq, A. 2018. Esensi WahyuDan Ilmu Pengetahuan. Wardah, 182, Bahtiar Effendy, “Islam dan Demokrasi Mencari Sebuah Sintesa Yang Memungkinkan” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher eds., Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta, 1996, Mizan, hal. PenutupDari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa secara normatif doktriner,dalam ajaran Islam terdapat prinsip-prinsip dan elemen dalam demokrasi, meskipunsecara generik, global. Prinsip dan elemen-elemen demokrasi dalam ajara Islam ituadalah as-syura, al-adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Realitasdemokrasi dalam sebuah negara pernah diterapkan pada masa Nabi Muhammad dankhulafaurrasyidin. Tetapi setelah itu, pada sebagian besar negara-negara Islam tidakmewarisi nilai-nilai demokrasi tersebut. Realitas ini tidak hanya terjadi pada negara-negara Islam saja, tetapi juga negara non-Islam Barat. Inilah problem yang dihadapioleh banyak negara. Secara umum nilai-nilai agama memang belum banyak dipraktikkandalam ikut memberikan kontribusi pada banyak negara, apalagi negara sekular. Olehsebab itu statement Fukuyama maupun Huntington, yang mengatakan bahwa secaraempirik Islam tidak compatible dengan demokrasi tidak sepenuhnya benar. Sebab dinegara non-Muslim pun demokrasi juga tidak sepenuhnya diterapkan. Daftar PustakaAhmad, Akbar S. 1992. Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahanNunding Ram dan Ali Yaqub, Jakarta, Erlangga. Aswab Mahasin 1999, dalam Imam Aziz, ed. Agama, Demokrasi dan Keadilan,Jakarta, Gramedia. Baiti, R., & Razzaq, A. 2018. Esensi Wahyu Dan Ilmu Pengetahuan. Wardah, 182, Bahtiar. 1996. “Islam dan Demokrasi Mencari Sebuah Sintesa YangMemungkinkan” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher eds., Agama danDialog Antar Peradaban, Jakarta M., & Razzaq, A. 2016. Konsep Demokrasi Islam Dalam PandanganKuntowijoyo Studi Pada Sejarah Peradaban Islam. Wardah, 161, Alfred. 1956. I s l a m, England, Pinguin Tutik. 1999. “Konsep Demokrasi dalam Perspektif Muslim” dalam MajalahEl-Harakah, No. 52. A., & Razzaq, A. 2017. Analisis Metode Tafsir Muhammad Ash-Shabunidalam Kitab rawâiu’ al-Bayân. Wardah, 181, Hasan, Tholchah, 1999. “Hak Sipil dan Hak Rakyat dalam Wacana Fiqh” dalam JurnalKhazanah, UNISMA Malang. Madani, Malik. 1999. “Syura, Sebagai Elemen Penting Demokrasi” dalam JurnalKhazanah, UNISMA Malang. Majid, 1998. “Hukum dan Keadilan” dalam Jurnal Paramadina, Vol I No. 1 Juli-Desember. Pulungan, Suyuti. 1994. Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Rajawali A., & Saputra, D. 2016. Studi Analisis Komparatif Antara Ta’wil danHermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an. Wardah, 172, A. 2017. Dakwah dan Pemikiran Politik Islam Kajian Teoritis dan Empiris. Palembang NoerFikri Nasaruddin. 2002. “Demokrasi dan Musyawarah Sebuah Kajian analitis”dalam Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, Perta, Vol. V. No. 1. Zainuddin. 2002. “Islam Tak Kompatibel Dengan Demokrasi?” dalam Jaringan IslamLiberal, Jawa Pos, 10 ... Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan persamaan hukum Mujiwati, 2016. Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi pemerintah bagi dirinya sendiri dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab terhadap tugasnya Defrizal et al., 2020. Oleh karena rakyat tidak mungkin mengambil keputusan karena jumlah terlalu besar maka dibentuklah dewan perwakilan rakyat Ratu, 2017. ...Turham AGDemocracy is a must to be practiced in the educational process. As an instrument of glue and unification of the nation at the practical level, education must accommodate broadly democratic principles, the Prophet has set a good example for us, in practice democracy cannot be separated from discussion and dialogue, so that students are not educated to be good at memorizing things. but rather to assess, evaluate critically and be taught how to examine problems and how to understand them. So it is hoped that Islamic education can implement the concept of democracy that is appropriate and in accordance with the goals and philosophy of Islamic education to improve the quality of educational services with quality insight so that it will be able to survive in accordance with the needs of the community without losing the main purpose of Islamic has not been able to resolve any references for this publication.
Negara adalah cakupan wilayah yang sangat luas, dan memiliki beraneka ragam budaya yang tidak sama antara satu dan yang lainnya. Selain itu negara juga memiliki sebuah pemerintahan, dimana sebuah aturan hukum di dirikan demi mencapai mencapai Tujuan Penciptaan Manusia dan Proses Penciptaan Manusia. Selain itu negara juga memiliki konsep pemerintahan yang berbeda-beda seperti demokrasi misalnya. Demokrasi adalah suatu pemerintahan yang memberikan hak sama pada setiap warga negaranya dalam menentukan hidup adalah negara yang menjadikan rakyatnya sebagai pemilik dari kedaulatan tertinggi di suatu negara. Demokrasi akan terwujud jika rakyat nya menerapkan norma dalam hidup seperti pentingnya kesadaran pluralism, cara yang sesuai dengan tujuan, kejujuran, musyawarah bersama, gotong royong dan pendidikan yang memadai. Sebuah konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dengan islam, dan prinsip demokrasi yang sejalan dengan islam adalah adanya musyawarah dan keikut sertaan rakyat dalam memilih pemerintah. Dan demokrasi yang tidak sesuai dengan islam adalah dibebaskan nya sebuah sikap dan tindakan bagi seorang IslamSistem pemerintahan yang digunakan islam adalah pemerintahan khilafah atau pemerintahan yang bersifat syar’i. Khilafah yang syar’i adalah sebuah pemerintahan yang sudah sangat umum bagi muslim di dunia. Pemerintahan ini dibuat untuk menegakkan hukum atau aturan syara’ islami, dan menjalankan dakwah islam yang diperintahkan Rasulullah SAW ke seluruh dunia demi tercapainya suatu Hakikat Penciptaan Manusia, Hakikat Manusia Menurut Islam, selain itu pemerintahan syar’i dibuat berdasarkan Tujuan Penciptaan Manusia, Konsep Manusia dalam Islam, Proses Penciptaan Manusia, dan sesuai dengan Fungsi Agama untuk Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam, dan sesuai dengan Cara Sukses Menurut Pemerintahan DemokrasiMemerintah berdasarkan kehendak rakyatMemiliki ciri kontitusioanalMemiliki wakil rakyatMemiliki kegiatan pemilihan pemimpinMemiliki suatu kelompok partaiMemiliki batasan kekuasaanKonsep Demokrasi Yang Sesuai Dengan Islam1. Demokrasi ialah suatu konsep pemerintahan yang melibatkan seluruh warga negaranya memutuskan suatu pemimpim yang akan mengurus negara mereka. Hal ini sesuai dengan islam saat diperbolehkannya seorang makmum menerima atau menolak seorang imam ketika hendak menjalankan Rakyat diberi kebebasan dalam memberikan saran kepada seorang pemimpin, atau dalam demokrasi di perbolehkan nya rakyat memberikan aspirasi. Hal ini sesuai dengan ajaran islam yang memperbolehkan seorang rakyat memberikan saran atau nasihat kepada Rakyat diwajibkan untuk menggunakan hak suaranya. Dan ini sesuai dengan konsep islam, karena barang siapa orang yang tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilihan pemimpin. Sehingga orang yang tidak seharusnya memimpin menjadi pemimpin, dan orang yang seharusnya memimpin tidak terpilih. Otomatis hal ini termasuk dengan menyalahi apa yang sudah Allah perintahkan, yaitu memilih pemimpin yang muslim, adil dan Menetapkan suara terbanyak sebagai pemenang dalam pemilihan pemimpin. Misalnya dalam pemilihan seorang presiden dan siapa calon presiden yang mendapatkan suara yang terbanyak, maka otomatis akan menjadi pemimpin. Dalam islam hal ini juga pernah dilakukan seperti misalnya saat pemilihan seorang khalifah Umar. Dan mengambil keputusan penetapan seorang pemimpin melalui suara terbanyak tidak bertentangan dengan syariat agama Islam memberikan kebebasan pada setiap muslim untuk mengutarakan pendapat. Hal ini juga menjadi ciri utama dalam pemerintahan sistem demokrasi suatu negara yang memberikan kebebasan pada warga negaranya untuk berpendapat dan kebebasan Demokrasi Yang Bertentangan Dengan IslamSering kali negara demokrasi meninggikan peraturan yang dibuat adalah sebuah kesepakatan yang mutlak dan terbaik. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang di syariatkan islam karena hukum yang paling sempurna adalah Dasar Hukum Islam yang Allah tetapkan, sehingga hal ini di anggap termasuk pada sebuah kemusyrikan dan kufur pada Allah dan agama Dalam islam sebuah pendapat boleh di berikan namun harus tetap sesuai dengan syariat islam. Dalam hal ini negara demokrasi membebaskan rakyat nya untuk melakukan sesuatu tanpa ada batasan yang ditetapkan seperti hukum yang islam Musyawarah yang islam ajarkan adalah suatu penentuan keputusan yang merujuk pada shahih atau dhoifnya dalil dan bukan dari sebuah pendapat yang memiliki suara pemerintahan dengan sistem demokrasi membuat para ulama mengeluarkan pendapat baik pro dan kontra terhadap sistem demokrasi suatu negara. Hal ini juga membuat banyak para ulama mengeluarkan pendapatnya tentang alasan mereka tidak menyetujui tentang hal tersebut, dan yang menyetujui sistem demokrasi Tokoh Ulama Tentang DemokrasiAl MadudiBeliau adalah tokoh ulama yang menolak dengan tegas suatu demokrasi dalam negara. Islam tidak memberikan kekuasaan penuh pada rakyat untuk memutuskan sesuatu. Islam menggunakan dalil yang kuat dalam memutuskan suatu masalah, atau perkara yang muncul dalam suatu pemerintahan. Lain hal nya dengan demokrasi yang hukumnya dibuat oleh manusia sehingga cenderung bersifat ImarahBeliau adalah tokoh yang tidak menerima demokrasi dengan tegas dan juga tidak menyetuji adanya sistem demokrasi pada suatu negara. Demokrasi adalah sebuah sistem kekuasaan yang membuat atau menetapkan hukum di tangan manusia rakyat . Hal ini sangat bertentangan dalam sistem pemerintahan islam yang sudah dibuat dan di tetapkan Allah sebagai pemegang kekuasaan Ali Al-BahnasawiMenurut beliau demokrasi ialah suatu sistem pemerintahan yang memiliki sisi baik yang tidak bertentangan dengan islam. Sisi baik dalam sistem demokrasi ialah adanya suatu kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sisi buruk demokrasi adalah adanya penggunaan hak legislatif yang bebas dan bisa mengarah pada suatu sikap yang menghalalkan sesuatu yang haram. Beliau juga menawarkan suatu sistem demokrasi yang islami atau sesuai dengan ajaran islam yang tanggung jawab untuk setiap individu wakil rakyat harus memiliki suatu sifat yang sesuai dengan Akhlak Dalam Islam, baik dalam menjalankan tugas-tugas dan komitmen dalam islam hanya boleh diputuskan orang-orang yang berakhlak dan bertanggung pendukung bukanlah suatu keputusan yang mutlak dalam menentukan sesuatu, dan hukum tersebut tidak ditemukan dalam Sunnah dan Al-Qur’an dalam surat Annisa ayat 59 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًاHai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Qur’an dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik itu disebutkan juga dalam surat Al Ahzab ayat 36 tentang sebuah ketetapan yang Allah buat harus di كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًDan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. Demokrasi adalah negara yang bebas untuk beraspirasi dan bebas dalam melakukan sesuatu. Hal ini jelas-jelas dilarang dalam islam, karena islam sudah menetapkan suatu dasar hukum yang baik dan benar untuk sebuah peraturan dalam hal apapun. Jadilah seorang pemimpin yang adil dan jujur, agar negara demokrasi yang saat ini mampu bertransformasi menjadi negara demokrasi islami. Sistem demokrasi islami yang diharapkan para tokoh ulama ialah sistem demokrasi yang dalam pengambilan keputusan merujuk pada Fungsi Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam dan Sumber Syariat Islam. Para ulama memberikan gambaran demokrasi islami agar kita sebagai umat muslim di seluruh dunia tidak tersentuh oleh bermacam-macam Dosa Besar Dalam Islam.
Democracy is one interrested topic of discussions especially in relation to Islam. Many questions emerge associated with Islam and democracy such as Does Islam has the concept of democracy? Does democracy compatible with Islam? What is the Muslim scholars response to the issue of democracy? This paper will investigates these questions using library research. This study discoveres that there are different opinions among Muslim scholars in relation to democracy some said that democracy is compatible with the Islamic doctrine, another scholars stated otherwise, while the others stand between the two. Islamhas a term that resemble with the term democracy that is shurā, with different principles. In regard to the application of democracy in Indonesia, the majority of Muslim scholars in Indonesia accept positively to the concept of democracy and considered it to be compatible with the Islamic doctrine. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free A. PENDAHULUAN Tema demokrasi adalah salah satu tema yang sampai saat ini masih menarik untuk didiskusikan. Berbagai karya yang mengulas tentang demokrasi telah dihasilkan—baik itu oleh para pemikir Islam maupun Barat. Semenjak kedatangan bangsa Barat ke dunia Islam, dan seiring dengan kemajuan bangsa Barat saat ini, maka sesuatu yang datang dari Barat selalu dijadikan indikator simbol kemajuan. Atas klaim itu sehingga banyak negara merasa penting untuk “mencontoh”—baik secara langsung atau tidak—segala bentuk kemajuan yang pernah dicapai oleh Barat—termasuk di dalamnya tema demokrasi. Di kalangan para intelektual Islam terdapat perbedaan pendapat dalam menanggapi permasalahan demokrasi. Apakah konsep yang mulanya warisan Barat ini dapat sesuai dengan Islam dan bisa diterapkan di negara Islam? Apakah arti demokrasi itu sendiri?. ISLAM DAN DEMOKRASI PANDANGAN INTELEKTUAL MUSLIM DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA Kiki Muhamad Hakiki Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung Jl. Letkol. H. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung 35131, Indonesia E-mail m_hakiki _________________________ Abstract Democracy is one interrested topic of discussions especially in relation to Islam. Many questions emerge associated with Islam and democracy such as Does Islam has the concept of democracy? Does democracy compatible with Islam? What is the Muslim scholars response to the issue of democracy? This paper will investigates these questions using library research. This study discoveres that there are different opinions among Muslim scholars in relation to democracy some said that democracy is compatible with the Islamic doctrine, another scholars stated otherwise, while the others stand between the two. Islamhas a term that resemble with the term democracy that is shurā, with different principles. In regard to the application of democracy in Indonesia, the majority of Muslim scholars in Indonesia accept positively to the concept of democracy and considered it to be compatible with the Islamic doctrine. Keywords Islam; democracy; shurā; Indonesia. __________________________ Abstrak Perbincangan seputar tema demokrasi memang menarik, terlebih jika dikaitkan dengan doktrin agama dalam hal ini Islam. Maka berbagai pertanyaan pun menyeruak; apakah demokrasi mendapatkan tempat yang layak dalam Islam?; apakah pesan-pesan demokrasi sesuai dengan ajaran Islam?; apakah Islam sendiri mempunyai aturan yang sama dengan demokrasi?; dan bagaimana respon para sarjana muslim terhadap isu demokrasi? Pertanyaan-pertanyaan ini-lah yang akan coba disajikan dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini. Dengan penelusuran pustaka, hasil studi menemukan bahwa ada beberapa pesan demokrasi yang sesuai dengan Islam, ada juga yang sebaliknya. Dalam Islam sendiri ada istilah yang hampir dekat dengan istilah demokrasi yakni shurā, akan tetapi keduanya ada perbedaan yang prinsip. Karena itu respon para sarjana Muslim pun beraneka ragam; ada yang menerima secara utuh istilah demokrasi, ada juga yang menentangnya, ada juga yang abu-abu—antara menentang dan menerima. Sedangkan dengan penerapan demokrasi di Indonesia, ternyata umat Islam Indonesia begitu menerima dan berhubungan positif dengan konsep demokrasi yang selama ini dianggap bertentangan dengan ajaran Islam oleh sebagian sarjana Islam. Kata Kunci Islam; demokrasi; shurā; Indonesia __________________________ DOI Received January 2015 ; Accepted December 2015 ; Published February 2016 Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Permasalahan lainnya adalah apakah konsep demokrasi dengan shu>ra> dalam Islam adalah sama? Untuk menjawab permasalahan ini, berbagai kalangan cendekiawan Muslim menyajikan konsepnya yang antara satu dengan lainnya saling berbeda pendapat. Itulah beberapa permasalahan yang akan dicoba dibedah dalam artikel ini. B. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengertian Demokrasi Asal kata demokrasi adalah “demos”, sebuah kosa kata Yunani berarti masyarakat, dan “kratio” atau “krato” yang dalam bahasa Yunani berarti pemerintahan. Demokrasi secara etimologis berarti “pemerintahan oleh rakyat” rule by the people. Dilihat dari sejarahnya, pertama kali, istilah ini digunakan sekitar lima abad sebelum Masehi. Chleisthenes—tokoh pada masa itu—dianggap banyak memberi kontribusi dalam pengemba-ngan demokrasi. Chleisthenes adalah tokoh pembaharu Athena yang menggagas sebuah sistem pemerintahan kota. Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athena ke dalam 10 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari beberapa demes yang mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil. Sejatinya, jauh sebelum bangsa Yunani mengenal demokrasi. Para ilmuwan meyakini, bangsa Sumeria yang tinggal di Mesopotamia juga telah mempraktikkan bentuk-bentuk demokrasi. Konon, masyarakat India Kuno pun telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan mereka, jauh sebelum Yunani dan Romawi. “Demokrasi muncul dari pemikiran manusia,” ungkap Aristoteles seorang pemikir termasyhur dari Yunani. Gagasan demokrasi yang berkembang di Yunani sempat hilang di barat, saat Romawi Barat takluk ke tangan suku Jerman. Pada abad pertengahan, Eropa Barat menganut sistem feodal. Kehidupan sosial dan spiritual dikuasai Paus dan pejabat agama Lawuja Magna Charta yang lahir pada 1215 dianggap sebagai jalan pembuka munculnya kembali demokrasi di Barat. Pada masa itu, muncullah pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi seperti, John Locke dari Inggris 1632-1704 dan Montesquieu dari Prancis 1689-1755. Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika sampai masa renaissance, istilah ini digunakan untuk suatu sistem demokrasi langsung, yakni masyarakat secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif, eksekutif, yudikatif dsb. Sejak dulu, sistem pemerintahan semacam ini ditentang oleh filsuf-filsuf besar. Plato menyifatinya sebagai pemerintahan orang-orang bodoh. Aristoteles menamakan-nya pemerintahan orang-orang miskin tak berkeutamaan. Abu Nasr Al-Farabi dan Ibn Rusyd menyebutnya sebagai kebusukan dalam pemerintahan utama madi>nah fad}i>lah. Salah satu keberatan lain yang cukup kasat mata adalah bahwa sistem ini sama sekali tidak praktis apabila jumlah masyarakat telah membesar. Oleh karena itu, Jean Jacques Rousseau beserta filsuf politik lain me-nyempurnakannya dengan teori demokrasi perwakilan, sistem pemilihan para wakil rakyat sebagai pemerintah. Sistem perwakilan ini telah menjadi norma berharga dan prinsip yang diterima di dunia sehingga memaksa banyak cendekiawan muslim menciptakan teori demokratisasi Islam. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dilaksanakan secara langsung oleh mereka, atau oleh wakil terpilih dalam sistem pemilu yang definisi ini maka Abraham Lincoln, salah seorang mantan Presiden Amerika Serikat, mengatakan bahwa dalam proses demokrasi mengharuskan adanya partisipasi rakyat dalam memutuskan suatu permasalahan dan me-ngontrol pemerintahan yang Sadek J. Sulaiman mengatakan bahwa prinsip dasar demokrasi adalah adanya Ali Nawaz Memon, “Membincang Demokrasi,” dalam Islam Liberalisme Demokrasi, terj. Mun’im A. Sirry Jakarta Paramadina, 2002, 3. Sadek J. Sulaiman, “Demokrasi dan Shura,” dalam Islam Liberal, ed. Charles Khurzman, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaedi Jakarta Paramadina, 2003, 125. Ia adalah seorang mantan duta besar Oman untuk Amerika Serikat. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 kesamaan antara seluruh manusia. Apa pun bentuk diskriminasi manusia, baik yang berdasarkan ras, gender, agama, status sosial, adalah bertentangan dengan demokrasi. Lebih lanjut ia mengatakan dalam demokrasi ada tujuh prinsip Pertama, kebebasan berbicara. Dalam sistem ini setiap warga negara bebas untuk mengemukakan pendapatnya tanpa harus merasa takut. Dalam sistem demokrasi, hal ini sangat penting untuk mengontrol kekuasaan agar berjalan dengan benar. Kedua, pelaksanaan pemilu. Pemilu ini merupakan sarana konstitusional untuk melihat dan menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau perlu diganti dengan yang lain. Ketiga, kekuasaan dipegang oleh mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas. Prinsip ini mengakui adanya hak oposisi suatu kelompok terhadap pemerintah. Keempat, sejalan dengan prinsip ketiga, dalam sistem demokrasi, partai politik memainkan peranan penting, rakyat berhak dengan bebas mendukung partai mana yang lebih sesuai dengan pandangan dan pilihannya. Kelima, demokrasi meniscayakan pemisahan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan pemisahan ini akan ada checks and balances, sehingga kekuasaan akan terhindar dari praktik-praktik eksploitatif. Keenam, demokrasi menekankan adanya supremasi hukum. Semua individu harus tunduk di bawah hukum, tanpa memandang kedudukan dan status sosialnya. Ketujuh, dalam demokrasi, semua individu atau kelompok bebas melakukan perbuatan. Karenanya semua individu bebas mempunyai hak milik, tanpa boleh diganggu oleh pihak manapun. 2. Antara Demokrasi dan Shu>ra>Menanggapi permasalahan di atas, kalangan intelektual Muslim saling berbeda pendapat. Sebagian dari mereka memandang demokrasi dan shu>ra>adalah dua hal yang identik; sebagian yang lain memandang berbeda yakni demokrasi dan shu>ra>adalah dua hal yang saling berlawanan. Sebagian lagi dengan maksud mendamaikan dua kubu yang Sulaiman, “Demokrasi dan Shura.”, 125. berlawanan di atas berpendapat bahwa antara demokrasi dan shu>ra>dalah dua istilah yang mempunyai sisi persamaan, dan tak sedikit juga sisi perbedaannya dengan Islam. Hasil Kongres Amerika pada tahun 1989, memutuskan beberapa kriteria sebuah negara bisa dikatakan demokratis bila; Pertama, didirikan sistem politik yang sepenuhnya demokratis dan representatif berdasarkan pemilihan umum yang bebas dan adil; Kedua, diakui secara efektif kebebasan-kebebasan fundamental dan kemerdekaan-kemerdekaan pribadi, termasuk kebebasan beragama, berbicara dan berkumpul; Ketiga, dihilangkan semua perundang-undangan dan peraturan yang menghalangi berfungsinya pers yang bebas dan terbentuknya partai-partai politik; Keempat, diciptakan suatu badan kehakiman yang bebas; dan Kelima, didirikan kekuatan-kekuatan militer, keamanan, dan kepolisian yang tidak memihak. Kriteria yang tidak jauh berbeda juga diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno dan Afan Ghafar. Menurut Franz Magnis Suseno, sebuah negara demokrasi apabila ia memiliki; 1.Negara hukum; 2. Pemerintahan yang berada di bawah kontrol nyata masyarakat; 3.Ada pemilihan umum berkala yang bebas; 4. Prinsip mayoritas; dan 5.Adanya jaminan terhadap hak-hak demo-kratis dasar. Sedangkan menurut Afan Ghafar hampir sama dengan Franz Magnis dengan tanpa menyebutkan beberapa prinsip di atas, sepintas terlihat bahwa konsep demokrasi sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Alquran tentang shu>ra>, tetapi apakah benar kedua istilah ini sama, baik itu dalam konsep maupun aplikasinya. Dalam bagian Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis Jakarta Gaya Media Pratama, 2002, 32. Franz Magnis-Suseno, “Demokrasi Tantangan Universal,” dalam Agama dan Dialog Antar Peradaban, ed. M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher Jakarta Paramadina, 1996, 127. Afan Ghafar, “Demokratisasi dan Prospeknya di Indonesia Orde Baru,” dalam pengantar Buku Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, ed. Elza Peldi Taher Jakarta Paramadina, 1994, xxvii-xxix. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 selanjutnya akan diuraikan kajian kritis tentang konsep demokrasi dan shu>ra>. Demokrasi selalu muncul sebagai isu sentral dalam setiap episode sejarah peradaban manusia dan merupakan satu-satunya isu dan wacana yang mampu menyatukan cita ideal manusia sejagad karena wacana demokrasi mampu melintasi batas-batas geografis, suku bangsa, agama, dan kebudayaan. Menanggapi permasalahan ini, kalangan intelektual Muslim saling berbeda pendapat. Mengutip klasifikasi yang dilakukan oleh John L. Esposito dan James P. Piscatori, tanggapan para cendekia-wan Muslim terhadap demokrasi bisa diklasi-fikasikan menjadi tiga kelompok;Pertama, sebagian dari mereka memandang demokrasi dan shu>ra>adalah dua hal yang identik akan tetapi terdapat juga perbedaan. Di antara cendekiawan Muslim yang beranggapan seperti adalah Imam Khomeini. Ia mengatakan bahwa di satu sisi Iran menganggap bahwa Tuhan sebagai penguasa mutlak yang semua perintah-Nya harus diikuti, sedangkan di sisi lain sebagai negara republik, Iran memandang perlunya partisipasi rakyat di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya, seperti lewat pemilu untuk memilih wakil mereka di parlemen, pemilu presiden. Pemerintah Iran merupakan pemerintahan hukum Tuhan atas manusia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, tetapi juga dengan parlemen yang bertugas menyusun program untuk berbagai kementerian, dengan kekuasaan tertinggi di tangan seorang Muslim lainnya yang masuk dalam kelompok ini adalah Taufiq al-Syawi dalam bukunya “Fiqh al- Shu>ra> wa al-Istisharah” ia mengatakan bahwa demokrasi merupakan bentuk shu>ra>versi Eropa. Meskipun begitu, demokrasi tidak sama dengan shu>ra>karena tidak berpegang pada dasar syariat Islam. Menurutnya, John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Islam dan Demokrasi,” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam April-Januari, no. 4 1994, 19-21. Riza Sihbudi, “Masalah Demokratisasi di Timur Tengah,” dalam Agama, Demokrasi, dan keadilan, terj. M. Imam Aziz Jakarta Gramedia, 1993, 174. atau lihat Riza Sihbudi, “Bahasa dalam Kelompok Syi’ah, Kasus Vilayat Faqih,” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, no. 5 1994, 47-48. demokrasi konvensional sangat rentan terha-dap prilaku diktator, karena demokrasi memungkinkan penguasa melakukan upaya tertentu merebut dan mempengaruhi ke-kuasaan legislatif, lalu menciptakan undang-undang tersendiri yang berfungsi untuk memperluas kekuasaannya. Dengan begitu ia menegaskan bahwa sistem shu>ra>sebenarnya telah melangkah lebih maju ketimbang sistem demokrasi modern, karena sistem shu>ra>mewajibkan para penguasa berpegang pada syariat atau sumber samawi yang lebih tinggi dari penguasa yang tidak memungkinkan mereka mencampurinya, sekalipun pada persoalan yang tidak dijelaskan secara pasti, karena itu wewenang sebagian yang lain memandang berbeda yakni shu>ra>dan demokrasi adalah dua hal yang saling berlawanan dan harus ditolak. Di antara cendekiawan Muslim yang masuk dalam katagori ini adalah Syaikh Fadhallah Nuri, Sayyid Qutub, al-Sya’rawi, Ali Benhadji, Hasan Turabi, Abu> al-A’lâ al-Maudu>di>. Menurut Syaikh Fadhallah Nuri, demokrasi adalah persamaan semua warga negara, dan hal ini menurutnya sangatlah tidak mungkin dalam Islam. Dalam demokrasi, perbedaan yang luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti terjadi. Misalnya; antara yang beriman dan yang tidak beriman, antara yang kaya dan miskin, antara faqih ahli hukum dan penganutnya. Tidak hanya itu, ia juga me-nolak legislasi oleh manusia. Agama Islam menurutnya tidak memiliki kekurangan yang memerlukan penyempurnaan dan dalam Islam tidak ada seorang pun yang diizinkan me-ngatur hukum. Karena itu, ia menegaskan bahwa demokrasi sangatlah bertentanga dalam mengecam terhadap demokrasi juga disampaikan oleh Sayyid Qutub, ia mengatakan bahwa demokrasi adalah sebuah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan dan merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang Taufiq Al-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, terj. Djamaluddin ZS Jakarta Gema Insani Press, 1997, 21-23. John L. Esposito, Islam dan Politik Jakarta Bulan Bintang, 1990, 118. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 kepada yang lainya. Menurutnya mengakui kekuasaan Tuhan berarti melakukan penen-tangan secara menyeluruh terhadap kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk, sistem dan kondisi. Ia menambahkan bahwa agresi menentang kekuasaan Tuhan adalah bentuk jahiliyah. Ia menandaskan bahwa negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah, karena Islam sebagai sebuah sistem hukum dan moral sudah lengkap, sehingga dengan demikian tidak ada lagi legislasi lain yang mengatasinya. Pendapat serupa pula dikatakan oleh Mutawali al-Sya’rawi seorang ulama besar asal Mesir yang mengatakan bahwa Islam dan demokrasi tidak bersesuaian, dan shu>ra>tidak dengan sendirinya demokrasi mayoritas. Ali Benhadji seorang pemimpin FIS Front Islamique du Salut mengatakan bahwa konsep demokrasi adalah sebuah konsep Yudeo-Kristen yang harus diganti dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang inhern dalam Islam. Para teotitisi politik Barat sendiri, kata Benhadji mulai melihat sistem demokrasi adalah sistem yang cacat. Menurutnya demokrasi hanya dinilai baik jika lebih menguntungkan Barat daripada negara Islam itu John L. Esposito dan James P. Piscatori bahwa sebagian umat Muslim mencemaskan model demokrasi Barat serta sistem pemerintahan yang dicanangkan Inggris. Sebenarnya, reaksi negatif tersebut merupakan ungkapan dari penolakan secara redikal terhadap kolonialisme Eropa, dan merupakan pembelaan terhadap Islam dalam usaha mengurangi ketergantungan umat Islam terhadap negara-negara Barat. Ungkapan penolakan terhadap kolonialisme Eropa tadi berakibat pada penolakan terhadap sistem demokrasi sebagian lagi dengan maksud mendamaikan dua kubu yang berlawanan di Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis, 48. John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim Bandung Mizan, 1999, 214. John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Islam and Democracy,” Middle East Journal VL, no. III 1991. Atau lihat Fahmi Huwaydi, Al-Isla>m wa al-Demuqra>ti>yah Kairo Markaz al-Ahram, 1993. . atas berpendapat bahwa antara shu>ra>dan demokrasi adalah dua istilah yang mempunyai sisi persamaan. Di antara para cendekiawan yang masuk dalam kelompok ini adalah Muhammad Husein Heikal, Fahmi Huwaidi, Mohammad Taha, Abdullah Ahmad al-Na’im, Bani Sadr, Mehdi Bazargan, Hasan al-Hakim, Amin Rais. Menurut Fahmi Huwaidi, demokrasi adalah sangat dekat dengan Islam dan substansinya sejalan dengan Islam. Argumentasi yag dihadirkan oleh Fahmi Huwaidi adalah; Pertama, beberapa hadits menunjukan bahwa Islam menghendaki pemerintahan yang disetu-jui oleh rakyatnya. Kedua, penolakan Islam kepada kediktatoran. Ketiga, dalam Islam, pemilu merupakan kesaksian rakyat dewasa bagi kelayakan seorang kandidat dan mereka tentu saja seperti yang diperintahkan Alquran. Keempat, demokrasi merupakan se-buah upaya mengembalikan sistem kekhila-fahan Khulafa al-Rashidi>n yang memberikan hak kebebasan kepada rakyat yang hilang ketika beralihnya sistem kekuasaan Islam kepada sistem kerajaan. Kelima, negara Islam adalah negara keadilan dan persamaan ma-nusia di depan hukum. Kelima, suara mayoritas tidaklah identik dengan kesesatan, kekufuran dan ketidaksyukuran. Keenam, legislasi dalam parlemen tidaklah berarti penentangan terhadap legislasi Husein Heikal berpendapat bahwa kebebasan, persaudaraan, dan persa-maan yang merupakan semboyan demokrasi dewasa ini juga termasuk di antara prinsip-prinsip utama Islam. Kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh paham demokrasi sekarang sebenarnya juga merupakan kaidah-kaidah Islam. Mohammad Taha salah seorang pemikir Sudan mengatakan bahwa demokrasi sejajar dengan sosialisme. Keduanya adalah dua sayap masyarakat yang dibutuhkan. Sosialisme merupakan proses mencari kemak-Fahmi Huwaidi, Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani, terj. M. Abdul Ghofar Bandung Mizan, 1996, 193. Muhammad Husein Heikal, Pemerintahan Islam, terj. Tim Pustaka Firdaus Jakarta Pustaka Firdaus, 1993, 95. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 muran sosial yang lebih baik, maka demokrasi merupakan proses pembagian kekuasaan yang mesti mendahuluinya. Menurut Taha, demo-krasi bukan akhir dari sebuah tujuan, tetapi sebagai sarana untuk meraih tujuan me-realisasikan martabat manusia. Demokrasi tidak hanya pandangan dari suatu pemerintahan, tetapi juga pandangan hidup, dan demokrasi merupakan pendekatan terbaik bagi usaha pencapaian martabat manusia. Taha menyadari bahwa dalam demokrasi banyak ketidaksempurnaan, meskipun begitu me-nurutnya ketidaksempurnaannya lebih rendah dibandingkan dengan marxisme. Ia menam-bahkan bahwa demokrasi adalah kebalikan dari kediktatoran di mana ia merupakan tipe pemerintahan yang memiliki kemampuan tinggi dalam menyediakan kesempatan bagi manusia untuk merealisasikan kehormatan dan kemuliaannya. Yang menarik dari pemikiran Taha adalah ia mela-kukan kritik terhadap konsep shu>ra> yang menurutnya shu>ra>bukan-lah ajaran asli Islam tetapi cenderung sebagai sebuah ajaran subsider. Menurutnya musya-warah bukanlah demokrasi, tetapi lebih sebagai aturan di mana individu-individu dewasa menyiapkan negara menuju demo-krasi. Dengan tegas ia menyatakan justru demokrasi adalah merupakan konsep asli Islam. Pandangan apresiatif terhadap demokrasi juga datang dari seorang mantan presiden pertama Iran masa Imam Khomeini yakni Bani Sadr. Ia mengatakan bahwa konsep wilayatul Faqih Imam khomeini yang di-terapkan di Iran hingga sekarang telah memberikan peranan yang terlalu besar kepada ulama dalam urusan kenegaraan, mereka menguasai lembaga perwalian yang memiliki hak veto. Dengan hak seperti itu, maka akibatnya kekuasaan sulit dikontrol dan tingkat partisipasi politik rakyat menjadi sangat rendah, padahal dalam sistem demo-krasi, kontrol terhadap kekuasaan dan adanya partisipasi politik rakyat merupakan dua unsur yang sangat dominan. Pendapat senada pun diungkapkan oleh politisi Iran lainnya yakni Mehdi Bazargan yang mengatakan bahwa Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis, 61. demokrasi sebagai kebenaran universal yang tidak perlu terhadap konsep demokrasi juga datang dari Amin Rais yang merupakan salah seorang cendekiawan Indonesia, bahwa ia tidak melihat adanya pertentangan antara Islam musyawarah dengan demokrasi. Hanya saja menurutnya istilah demokrasi dewasa ini telah disalahpahami menurut kepentingan politik rezim yang berkuasa. Lebih lanjut ia mengutarakan tiga alasan penerimaannya terhadap konsep demokrasi; pertama, secara konsep dasar, Alquran me-merintahkan umat Islam agar melaksanakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka. Kedua, secara historis, Nabi mempraktekkan musyawarah dengan para sahabat. Ketiga, secara rasional, umat Islam diperintahkan untuk menyelesaikan dilema dan masalah-masalah mereka. Salah seorang ulama yang mempunyai pendapat seperti yang terakhir di atas adalah Yusuf Al-Qardhawy, ia mengatakan bahwa secara substansi, demokrasi tidak bertentangan dengan Islam, bahkan ajaran substansi demokrasi telah lama dikenal oleh substansi demokrasi sudah dikenal oleh Islam, akan tetapi rinciannya diserahkan kepada ijtihad orang-orang Muslim, sesuai dengan dasar-dasar agamanya, kemaslahatan dunianya, perkembangan hidupnya menurut pertimbangan tempat dan waktu serta trend kehidupan manusia. Lantas pertanyaannya adalah apakah substansi dari demokrasi itu sendiri?. Ia menjawab bahwa substansi demokrasi terlepas dari berbagai definisi istilah-istilah akademis adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Dan hal ini tentu saja mereka tidak akan mengangkat seseorang yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Mereka berhak memperhitungkan pemimpin yang Dawam Rahardjo, “Syura,” Jurnal Ulumul Qur’an 1, no. 1 1989, 34. Yusuf Al-Qardhawy, Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, terj. Kathur Suhardi Jakarta Pustaka al-Kautsar, 1997, 184. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 melakukan kesalahan, berhak mencopot dan menggantinya dengan orang lain jika me-nyimpang. Alasan lain diterimanya konsep demokrasi dalam Islam menurutnya karena demokrasi mempunyai beberapa kelebihan, di antaranya adalah demokrasi telah menuntun ke beberapa bentuk dan sarana, yang hingga kini dianggap sebagai satu-satunya sistem yang memberi jaminan keselamatan bagi rakyat dari jarahan tangan para tiran. Meski-pun begitu, sistem demokrasi juga tak bisa dilepaskan dari kecacatan dan kekurangan, seperti lazimnya perbuatan manusia yang tak lepas dari kekurangan. Ia menganjurkan bahwa tidak ada salahnya bagi kita untuk mencari alternatif sistem lain yang lebih ideal dan lebih baik, tapi harus lebih mudah diterapkan dalam kehidupan manusia. Karena itu, tak ada salahnya bagi kita untuk me-ngambil sistem demokrasi, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan dan shu>ra>,menghormati hak-hak manusia, menghadang langkah para tiran di muka bumi menarik dari pemikiran Yusuf Al-Qardhawy ini di dalam memperkuat argumentasinya adalah dengan memakai kaidah hukum “Apabila yang wajib tidak bisa mencapai sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun hukumnya wajib”. Dari sinilah kita bisa mengambil tatacara demokrasi dan kandungan-kandungannya yang sesuai dengan diri kita dan kita bisa menyaring dan membenahinya. Jika kita bandingkan pendapat Yusuf Al-Qardhawy di atas dengan pendapat Taqi-yuddin Al-Nabhani sangatlah bertolak belakang. Taqiyuddin Al-Nabhani mengatakan jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya, jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan. Dalam hal ini menurutnya Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi Al-Qardhawy, Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, 183. Al-Qardhawy, Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, 192-193. kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Pernyataan senada pun dikuman-dangkan oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhu>m Al-’Adalah Al-Ijtima’iyah fi> Al-Fikri> Al-Isla>mi> Al-Mu’as}iryang menyatakan penolakannya atas penggunaan istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami. Karena itu, penggunaan istilah demokrasi, teokrasi, atau teo-demokrasi tidak dapat diterima, karena pengertiannya mengandung ambi-valensi antara yang mengartikannya menurut perspektif sekular dan yang mengartikannya menurut perspektif dua pendapat di atas yang bertolak belakang, nampaknya keduanya di dalam memandang demokrasi berawal dari persepsi yang berbeda. Yusuf Al-Qardhawy memahami demokrasi dari sisi substansi yang dibawa oleh demokrasi itu sendiri. Sedangkan Taqiyuddin Al-Nabhani dan Ihsan Sammarah memandang demokrasi bukan dari pesan yang dibawanya melainkan dari sejarah ke-munculan istilah itu sendiri yakni dari Barat yang tentunya berbeda dengan Islam. Membicarakan tentang apakah konsep demokrasi sesuai atau malah bertentangan dengan Islam memang tidak mudah. Karena bagaimanapun, konsep ini bermula dari Barat yang tentunya mempunyai latar belakang alasan kemunculannya tersendiri. Meskipun begitu, tidak sedikit para ilmuwan Islam yang memandang bahwa konsep demokrasi sesuai dengan konsep Islam. Berbagai istilah yang dikenal dalam Islam kerapkali disama-samakan atau disepadankan dengan pengertian demokrasi, seperti keadilan adl, persamaan musa>wah, musyawarah shu>ra>. Meskipun begitu, tidak sedikit ilmuwan Muslim menolak penyamaan antara demokrasi dengan beberapa istilah di atas dengan alasan bahwa Muslim Taqiyuddin Al-Nabh}ani, Niz}am Al-Isla>m, 2001, 85-86. Ih}sa>n Sammarah, Mafhu>m Al-'Ada>lah Al-Ijtimaiyah fi> Al-Fikri> Al-Isla>mi> Al-Mu’as}irBairut Da>r Al-Nahd}ah Al-Isla>miyah, 1991, 10-11. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 tidak dibolehkan untuk menciptakan kesepakatan-kesepakatan yang dinegosiasikan terhadap segala sesuatu yang dipercaya ber-tentangan dengan hukum Allah dan hal ini berbeda dengan demokrasi, apapun boleh dinegosiasikan. Melihat dari kenyataan di atas, maka alangkah baiknya jika kita sedikit berhati-hati ketika membicarakan kaitan antara demokrasi dengan Islam. Untuk memperjelas uraian dua istilah di atas, penulis terlebih dahulu menguraikan istilah shu>ra>dalam Alquran. Kata shu>ra> yang berasal dari kata kerja “shawara-yushawiru” secara etimologis be-rarti menjelaskan, menyatakan atau mengaju-kan dan mengambil sesuatu. Bentuk lain yang berasal dari kata kerja “shawara” adalah ashara memberi isyarat, “tashawara” be-runding, saling bertukar pendapat, “shawir” meminta pendapat, dan “mustashir” me-minta pendapat orang lain. Dari istilah-istilah di atas dapat dimengerti bahwa shu>ra>adalah saling menjelaskan dan merundingkan pen-dapat atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. Jika merujuk pada definisi istilah yang tertera dalam kamus “Lisa>n al-Arab” maka kata shu>ra>yang berasal dari kata “sha-w-r” secara etimilogis berarti mengeluarkan madu dari sarang definisi ini, Quraish Shihab memberikann definisi shu>ra>dengan segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain untuk memperoleh kebaikan. Menurutnya hal tersebut semakna dengan pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi shu>ra>sendiri sebenarnya sudah dikenal dan dipraktekkan bangsa Arab pada masa pra-Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Fazlur Rahman bahwa shu>ra>merupakan tuntutan abadi dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Hanya saja Alquran merubah shu>ra>dari sebuah institusi suku yang berlandaskan pada hubungan darah menjadi institusi komunitas yang menekankan prinsip Ibn Manzu>r, Lisa>nul ’Arab, Jilid 4 Beirut Da>r al-Shadr, 1968, 434. Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Bandung Mizan, 1996, 469. hubungan iman. Tesis Fazlur Rahman ini mendapatkan argumentasi pembenaran jika merujuk ungkapan Muhammad Yusuf Musa yang mengatakan bahwa masyarakat Arab pemuka Arab kalau mereka tidak diajak untuk bermusyawarah dalam urusan mereka, mereka akan kecewa dan berkecil hati. Hal ini semata-mata dilakukan dalam rangka mem-pererat hungan darah dengan mereka dan menghilangkan rasa kecewa di kalangan merujuk pada penjelasan Alquran, maka kata shu>ra>dapat dijumpai dalam tiga ayat. Pertama Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyu-suan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita keseng-saraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berke-wajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikann pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” QS al-Baqarah 233 Dalam ayat ini diuraikan bagaimana antara suami dan istri diharuskan untuk bermu-syawarah ketika mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak termasuk di dalamnya menyapih anaknya sebelum berumur dua tahun. Kedua Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka men-Muhammad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Jakarta LP3ES, 1985, 49-50. Muhammad Yusuf Musa, Niz}a>m al-H{ukm fi> al-Isla>m Kairo Da>r al-Katib al-Arabi>, Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 jauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulat-kan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. QS Ali-Imran 159 Asba>b al-nuzu>l ayat ini ketika terjadi perang Uhud yang membawa kekalahan bagi umat Islam, pada waktu itu, Nabi sendiri mengalami luka-luka. Atas kejadian itu, maka turunlah ayat ini dalam rangka memberi pelajaran kepada Nabi dan seluruh umat Islam agar selalu melakukan musyawarah dalam memutuskan sesuatu yang bersangkutan bagi kemaslahatan umat. Ketiga Dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan men-dirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. QS al-Shu>ra 42 38 Ayat ini Allah memberikann uraian tentang salah satu ciri seorang mukmin yaitu mendirikan sholat dengan baik dan benar, menafkahkan rizki dengan amanah dan ia selalu bermusyawarah sebelum mengambil keputusan. Ketiga ayat di atas menjelaskan bahwa Islam sangat menganjurkan umat Islam untuk selalu mengedepankan musyawarah terlebih dahulu sebelum memutuskan sebuah perkara. Terbukti dengan dimasukkannya musyawarah sebagai ciri orang yang beriman sebagaimana dalam surat al-Shura ayat 38 di atas. Meskipun Alquran sangat mementingkan musyawarah, akan tetapi Allâh tidak me-nguraikan bagaimana prosedur, bentuk atau tata cara bermusyawarah. Hal ini secara tidak langsung memberikan gambaran kepada manusia bahwa Alquran bukanlah seperti karya ilmiah lainnya yang harus ditulis dan diuraikan dengan sangat mendetail agar tidak terjadi kesalahan pemahaman. Alquran adalah kitab suci petunjuk umat Islam yang bersifat global. Keglobalan tersebut memberikan kesempatan kepada manusia untuk memikir-kan bagaimana prosedur dan mekanisme pe-nyelesaiannya yang sesuai dengan kebu-tuhannya termasuk di dalamnya masalah shu>ra. Penafsiran lain mengapa Alquran tidak memberikan penjelasan secara mendetail tentang shu>ra karena Alquran ternyata menganut prinsip bahwa untuk permasalahan-permasalahan yang sifatnya bisa berkembang sesuai dengan kondisi, budaya, politik, dan ekonomi, maka Alquran tidak mengu-raikannya secara final, akan tetapi hanya menetapkan garis-garis besarnya saja. Langkah ini bertujuan memberikan kesem-patan kepada manusia untuk memikirkan penyelesaiannya secara baik dan sesuai dengan kebutuhannya sejauh tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan yang jelas dilarang dalam Alquran. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim “Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian”, atau sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Ahmad “Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku rujukannya, dan yang berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalian lebih mengetahui”. Uraian di atas memunculkan permasalahan dalam hal apa sajakah yang harus dimusyawarahkan sebelum mengambil keputusan? Dalam menjawab permasalahan ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian di antara mereka seperti Muqatil, Ibn Abi Rabi’ mengatakan bahwa permasalahan-permasala-han yang harus dimusyawarahkan hanyalah yang berkaitan dengan strategi berperang sesuai dengan penjelasan surat Ali Imran ayat 159 di atas. Kelompok ini nampaknya menafsirkan ayat di atas secara literalis atau harfiah sehingga kejadian atau asba>b al-nuzu>layat di atas menjadi patokan bahwa per-masalahan yang dibolehkan untuk dimu-syawarahkan hanya berkaitan dengan strategi berperang saja tidak pada yang lain. Berbeda dengan pendapat-pendapat ulama di atas, ulama lain seperti Hasan Basri, al-Dahaq mengatakan bahwa permasalahan-Musa, Niz}a>m al-H{ukm fi>> al-Isla>m. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 permasalahan yang harus dimusyawarahkan hanya khusus terkait pada masalah yang berkaitan dengan urusan duniawi saja bukan dalam permasalahan agama. Alasan mereka adalah bahwa sebenarnya Nabi tidaklah membutuhkan jawaban-jawaban dari saha-batnya, akan tetapi bermaksud mendidik umatnya betapa musyawarah ini merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial politik umat Islam. Pendapat lain, pendapat ulama-ulama modern, yang menga-takan bahwa musyawarah tidaklah dilakukan hanya untuk permasalahan duniawi saja, akan tetapi juga untuk permasalahan keagamaan. Untuk itulah menurut kelompok ini, musya-warah dalam segi apa pun harus dilakukan baik urusan duniawi maupun agama. Kema-juan teknologi, agama pun akan terkena imbas dan tentunya membutuhkan solusi yang tidak bisa ditunda-tunda. Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang lebih masuk akal dan realistis adalah pendapat yang terakhir, yang mengemukakan argumentasi jika perkembangan dan perubahan masyarakat tidak di antisipasi untuk diberikan solusinya secara bersama-sama, maka tidak tertutup kemungkinan umat Islam dengan tidak mem-butuhkan waktu yang lama akan tertinggal jauh. Konsep di atas jika dibandingkan dengan pengertian teori demokrasi sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam demokrasi apa pun boleh dinegosiasikan; dalam demokrasi, semua individu atau kelom-pok bebas melakukan perbuatan, maka kelom-pok yang ketiga di atas secara otomatis mene-rima dan menganggap bahwa pesan-pesan demokrasi sesuai dengan Islam. Meskipun begitu, menurut hemat penulis, bagaimanapun tidak semua permasalahan agama harus dimusyawarahkan. Ada beberapa hal yang tidak layak atau dilarang untuk dimusyawarahkan misalnya dalam hal keimanan, ibadah, seperti tentang pembagian jumlah rakaat shalat dalam setiap waktunya tidak perlu dimusyawarahkan atau ditukar-Musa, Niz}a>m al-H{ukm fi>> al-Isla>m. tukar sesuai dengan kehendak hatinya karena hal ini sudah baku atau qat}’i. Permasalahan lain yang muncul jika musyawarah dikaitkan dengan negara adalah siapa yang berhak untuk melaksanakan musyawarah dan menentukan kebijakan pemerintah. Quraish Shihab mengutip sebuah hadits Wahai Ali, jangan bermusyawarahah dengan orang penakut, karena dia memper-sempit jalan keluar, jangan juga dengan orang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuanmu, juga tidak dengan yang berambisi, karena dia akan mem-perindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi merupakan bawaan yang sama. Semuanya bermuara pada prasangka buruk kepada di atas memberikan pemahaman bahwa untuk melakukan musyawarah sebaik-nya tidak dilakukan secara sembarang, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk memilih siapa yang layak diajak bermusyawarah. Hadis di atas juga mem-berikan petunjuk bahwa tidak semua anggota masyarakat harus dilibatkan dalam proses musyawarah. Sebagai contoh apa yang pernah dilakukan oleh sahabat Nabi ketika melakukan pemilihan siapa yang layak menjadi pengganti Nabi setelah Nabi meninggal. Pada saat itu tidak semua sahabat Nabi diharuskan untuk berkumpul. Hanya sebagian saja yakni sahabat Nabi yang mempunyai kredibilitas tinggi yang diperkenankan hadir. Di samping itu, dili-batkan juga beberapa utusan kepala dari masing-masing suku. Ini membuktikan bahwa musyawarah tidak dilakukan terhadap semua anggota masyarakat. Hanya mereka yang dianggap layak yang berhak untuk mengikuti musyawarah. Quraish Shihab ketika mengomentari surat Ali Imran 159 mengatakan bahwa sebenarnya ayat ini telah memberikan arahan kepada kita perihal sikap yang harus diperhatikan ketika hendak bermusyawarah. Ia mengatakan, sedikitnya ada tiga sikap yang harus Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 480. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 diperhatikan pertama, adalah sikap lemah lembut. Dalam bermusyawarahah apabila sebagai pemimpin, haruslah ia menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala. Karena jika tidak, maka mitra musyawarah akan meninggalkannya. Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru sebagaimana kalimat ayat tersebut fa’fu ’anhum maafkan mereka. Ketiga, adalah hendaknya selalu menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan, dengan cara memohon ampunan Ilahi sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat tersebut dengan kalimat “wa istaghfir lahum”.Jika merujuk pada penjelasan literatur klasik, dijelaskan bahwa mereka yang ditunjuk untuk melakukan musyawarah dalam rangka mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam, disebut oleh Al-Mawardi dengan Ahl al-H{all wa al-Aqdorang yang berhak melepas dan mengikat. Ahl al-H{all wa al-Aqdadalah sekelompok orang yang mempunyai kualitas tinggi dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, dan dijadikan tempat untuk bertanya dan sekaligus merekalah yang ditugasi untuk melakukan musyawarah dalam rangka mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam baik itu dalam permasalahan yang dihadapi negara atau pun rakyatnya. Atau sebagaimana ungkapan Muhammad Abduh yang mengatakan Ahl al-H{all wa al-Aqdsebagai orang yang menjadi rujukan masya-rakat untuk kebutuhan dan kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun non-formal, sipil maupun yang membedakan antara shu>ra dan demokrasi. Sisi lain perbedaan antara shu>ra dan demokrasi adalah dalam hal pengambilan keputusan. Menurut Quraish Shihab sedikitnya manusia mengenal tiga cara dalam mengambil keputusan pertama, keputusan yang ditetapkan oleh penguasa. Kedua, keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas. Ketiga, keputusan yang ditetapkan Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 473-475. Dikutip oleh Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 481. berdasarkan pandangan mayoritas. Dari tiga model keputusan ini maka Quraish mengatakan bahwa konsep shu>radalam Islam tidak tepat jika mengambil model yang pertama di atas. Tidak hanya itu, model kedua pun menurutnya tak pantas bagi konsep shu>ra. Ia berkata jika suara minoritas menjadi pilihan, apa keistimewaan pendapat minoritas sehingga menjadi pilihan? Sebagai jawaban-nya ia merasa cocok dengan model ketiga, akan tetapi hal itu tidaklah mutlak. Untuk memperkuatnya, ia mengutip ungkapan Ahmad Kamal Abu al-Majid yang menga-takan bahwa keputusan janganlah langsung diambil berdasarkan pandangan mayoritas setelah melakukan sekali dua kali musya-warah, tetapi hendaknya berulang-ulang hingga dicapai kata begitu, menurut penulis, dalam konsep shu>ra proses pengambilan keputusan tidak mesti ditentukan dengan suara mayoritas. Ada kalanya suara minoritas justru yang dipilih, hal ini disebabkan mungkin suara minoritas yang lebih tepat untuk dipilih. Kondisi ini pernah terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar. Pada waktu itu Khalifah pernah mengabaikan pendapat suara mayoritas dalam hal sikap terhadap para pembangkang pembayar zakat. Pada saat itu sebagian mayoritas sahabat yang dimotori oleh Umar Ibn Khatab berpendapat bahwa orang-orang yang menolak membayar zakat tetaplah dikatakan Muslim dan tidak boleh diperangi. Akan tetapi Khalifah Abu Bakar pada waktu itu tetap memilih untuk memerangi mereka yang enggan membayar zakat sekaligus meno-lak mereka yang menghendaki untuk tidak memeranginya sebagaimana dimotori oleh Umar. Pendapat Abu Bakar pun kemudian disetujui oleh forum dan realisasi kebijakan Khalifah pun berjalan dalam sejarah. Kondisi penolakan atas suara mayoritas pun pernah dilakukan pada masa Khalifah Umar. Saat itu permasalahan yang menjadi agenda musyawarah adalah perihal harta rampasan perang ghanimah berupa tanah. Pada saat sebagian sahabat menghendaki agar Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 482-483. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 harta yang dimiliki oleh mereka yang kalah berperang dirampas dan kemudian dibagikan kepada mereka yang mengikuti peperangan. Alasan mereka karena cara seperti ini diajarkan oleh Nabi dan juga dipraktekkan pada masa Khalifah Abu Bakar. Kebijakan ini kemudian ditentang oleh Khalifah Umar. Umar dan beberapa sahabat minoritas menghendaki agar harta rampasan itu tidak disita, akan tetapi dikembalikan lagi kepada mereka sebagai pemilik sah dan umat Islam hanya boleh memungut pajaknya saja. Dan pada akhirnya kebijakan Umar pun disetujui oleh semua sahabat dan hal itu terrealisasi juga dalam sejarah. Dari adanya beberapa pendapat di atas, yang terpenting dalam konsep shu>raadalah seberapa besar nilai kebaikan dari pendapat-pendapat tersebut—baik itu dari minoritas maupun mayoritas. Jika ternyata pendapat minoritas yang lebih banyak manfaatnya, maka ia pun menjadi pilihan, begitu sebalik-nya. Inilah menurut penulis di antara sisi perbedaan lainnya dengan demokrasi yang mensyaratkan bahwa hanya suara mayoritaslah yang menjadi pilihan. Begitu pentingnya konsep shu>radalam sebuah negara membuat konsep ini dijadikan oleh Jumhur Ulama sebagai syarat bagi seseorang yang akan diangkat menjadi seorang pemimpin negara. Menurut Jumhur Ulama, proses pemilihan seorang pemimpin negara haruslah dengan jalan musyawarah. Lalu pertanyaannya bagaimana mekanisme menja-lankan musyawarah dalam memilih pemimpin negara dalam dunia realitas. Dalam hal ini para ulama menentukan tiga cara;Pertama, pemilihan secara bebas melalui musyawarah tanpa pencalonan lebih dahulu oleh seseorang. Menurut para ulama, hal ini pernah dicontohkan ketika pemilihan Abu Bakar. Ia dipilih secara bebas tanpa dipersiapkan oleh Rasulullah Saw untuk menjadi penggantinya. Kedua, Khalifah mempersiapkan putra mahkota sebagai penggantinya jika antara keduanya tidak ada hubungan keluarga. Cara Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib Jakarta Logos, 1996, 95-96. ini pernah dicontohkan oleh Abu Bakar ketika memilih Umar. Pengangkatan putra mahkota ini sifatnya pengajuan calon saja dari Abu Bakar dan bukan suatu kemestian. Ketiga, mempersiapkan salah seorang dari tiga orang atau lebih anggota masyarakat yang dipandang terbaik di dalam masyarakat. Dan cara yang ketiga ini nampaknya menjadi pilihan setiap negara di dalam memilih pemimpinnya. 3. Hubungan Islam dan Demokrasi Kasus Indonesia Setelah di atas kita memfokuskan pada kajian seputar makna dari demokrasi dan syura, dan beberapa tipologi pandangan intelektual Muslim terhadap isu demokrasi, pada bagian ini akan coba disajikan potret penerapan demokrasi dengan mengambil sampel kasus di Indonesia. Pengambilan kasus Indonesia dalam hal ini sangat menarik karena dua alasan; pertama, Indonesia dilihat dari kuantitas jumlah adalah penganut agama Islam mayoritas di dunia dibandingkan negara-negara berpenduduk Islam lainnya. Kedua, dalam kasus penerapan demokrasi, Indonesia adalah negara paling berhasil dalam menerapkan isu memotret kasus Indonesia ini, penulis berdasar pada penemuan Saiful Mujani melalui riset disertasinya yang kemudian dibukukannya dengan judul “Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demo-krasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru”.Buku yang ditulis oleh Saiful Mujani ini adalah sebuah bantahan bagi mereka yang mengatakan bahwa Islam atau masyarakat Islam tak sesuai dengan demokrasi atau tak akan bisa mene-rima konsep penerapan demokrasi. Saiful Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2007. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Buku ini pada awalnya adalah sebuah disertasi untuk memperoleh gelar doktor dalam ilmu politik dari Departemen Ilmu Politik, di The Ohio State University, Colombus, Amerika Serikat. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Ada banyak ilmuwan yang mengatakan bahwa Islam cenderung akan menolak istilah dan penerapan demokrasi. Di antaranya adalah Samuel P. Huntington yang mengatakan bahwa bila orang Islam berusaha memper-kenalkan demokrasi ke dalam masyarakat mereka, usaha itu cenderung akan gagal karena Islam, yang sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka, tidak mendukung demokrasi. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa kegagalan demokrasi di negara-negara Muslim antara lain disebabkan oleh watak budaya dan masyarakat Islam yang tidak ramah terhadap konsep-konsep liberalisme serupa pun dikumandangkan oleh Elie Kedourie. Ia menyatakan bahwa ajaran, norma, kecenderungan, pengalaman keseharian orang Islam telah membentuk pandangan politik kaum Muslimin yang khas dan jauh dari modern. Menurutnya peradaban Islam bersifat unik; kaum Muslim bangga akan warisan masa lalu mereka dan bersikap tertutup terhadap dunia luar. Peradaban seperti ini menurutnya akan menghambat kaum Muslim untuk mempelajari dan menghargai kemajuan politik dan sosial yang dicapai oleh peradaban senada pun diung-kapkan oleh Bernard pandangan di atas yang sedikit menyentil Islam terbantahkan jika kita berkaca pada kasus Indonesia. Berdasarkan riset Saiful Mujani ditemukan bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, ternyata masyarakat Islam Indonesia cukup menarik dengan penerapan demokrasinya. Meskipun buku ini tidak bisa secara total menggugurkan teori Elie Kedourie, Bernard Lewis, dan Samuel P Huntington karena masih banyak negara-negara mayoritas muslim lainnya yang cenderung membenarkan pandangan tokoh di atas, akan tetapi minimal kehadiran buku ini bisa sedikit dijadikan cacatan bahwa ternyata Samuel P Huntington, The Clash of Civilizations Remaking of The World Order New York Simon and Schuster, 1997, 112. Elie Kedourie, Democracy and Arab Political Culture Portland Frank Cass, 1994. Bernard Lewis, What Went Wrong ? Western Impact and Middle Eastern Response Oxford Oxford University Press, 2002, 100. ada juga negara yang mayoritas muslim men-dukung secara baik penerapan demokrasi, dan negara itu adalah Indonesia. Jika kita membaca buku ini, istilah demo-krasi dipahami melalui dua cara; sebagai sebuah kompleks budaya politik dan sebagai partisipasi politik. Sebagai sebuah konsep budaya politik, demokrasi mencakup unsur-unsur saling percaya antar sesama warga interpersonal trust, jaringan keterlibatan kewargaan networks of civic engagement, toleransi, keterlibatan politik, kepercayaan pada institusi politik, kepuasan terhadap kinerja demokrasi, dukungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, dan dukungan terhadap masyarakat politik modern, yakni negara-bangsa nation-state. Sebagai partisipasi politik, demokrasi merupakan seperangkat aksi politik yang bersifat sukarela—mulai dari voting hingga protes—oleh warga negara biasa dengan tujuan mempengaruhi kebijakan yang ditulis oleh saudara Saeful Mujani ini mencoba membuktikan apakah Islam mempunyai hubungan negatif dengan demokrasi. Ada sekitar sepuluh hipotesis yang akan dibuktikan dalam buku ini; Pertama, “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak percaya kepada orang lain pada umumnya”. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, hipotesis tersebut tidak menemukan pembuktiannya. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan sikap saling percaya pada orang lain pada “semakin Islami seorang Muslim, ia akan semakin cenderung tidak percaya kepada non-Muslim”. Dalam kasus kaum Muslim Indonesia hipotesis ini tertolak. Tidak ada satu pun unsur Islam, kecuali “Islamisme” yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan faktor kepercayaan terhadap non-Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 313. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 117-149. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 315. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Muslim. Baik didefinisikan sebagai keper-cayaan terhadap orang lain secara umum maupun terhadap non-Muslim. Islam secara keseluruhan tidak berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kepercayaan antar sesama warga. Rendahnya kepercayaan antar sesama warga di kalangan Muslim Indonesia tidak memiliki korelasi signifikan dengan “semakin Islami seorang Muslim, cenderung semakin rendah pula keterikatan-nya dalam aktivitas kewargaan yang bersifat sekular”. Hipotesis ini untuk Indonesia tidak meyakinkan. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan jaringan keterlibatan dalam perkum-pulan sekular. Sebaliknya, hampir semua unsur Islam memiliki korelasi positif, signi-fikan, dan konsisten dengan jaringan keter-libatan tersebut. Karena itu untuk kasus Indonesia, Islam ternyata memperkuat, bukan memperlemah, keterlibatan kaum Muslim dalam perkumpulan kewargaan yang bersifat “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak toleran terhadap orang Kristen”. Hipotesis ini jika dilihat secara empirik di lapangan terlihat mempunyai pembuktiannya. Respon bagi kelompok Islamis memiliki korelasi negatif, signifikan dan konsisten dengan sikap toleran terhadap orang Kristen. Akan tetapi untuk kasus ini, Saeful Mujani menyatakan bahwa untuk kasus kaum Muslim Indonesia, Islamisme tidak identik dengan Islam. Karena itu, toleransi dalam hal ini lebih baik diukur dengan sikap toleran terhadap kelompok yang paling tidak disukai, dan bukan diukur dengan sikap toleran terhadap kelompok tertentu seperti Kristen. Karena dengan pengertian toleransi politik seperti ini, lebih sensitif terhadap persoalan konsolidasi demokrasi. Karena itu klaim bahwa Islam memiliki korelasi negatif Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 315. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 316. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 153-186. dengan konsolidasi demokrasi, karenanya, harus diukur dengan melihat sejauh mana Islam memiliki korelasi negatif dengan toleransi politik secara umum tersebut. Karena itu hipotesisnya adalah; “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak toleran terhadap kelompok yang paling tidak disukainya”. Untuk kasus Indonesia, hipotesis ini tidak terbukti. Karena tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan sikap toleran terhadap kelompok yang paling tidak disukai. Sebaliknya, jaringan keterlibatan dalam per-kumpulan Islam memperlihatkan korelasi yang relatif signifikan dan positif dengan toleransi politik secara “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak terlibat dalam politik”. Untuk kasus ini, Saeful Mujani melihat dari keterilabatn umat Islam dalam mengikuti berita politik; baik melalui media massa, diskusi politik dan perasaan penting-nya menentukan sikap dalam proses politik. Untuk kasus Indonesia, hipotesis ini ternyata juga tidak terbukti secara empiris. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan unsur keterlibatan politik. Sebaliknya, beberapa unsur Islam, seperti ibadah, memiliki korelasi yang signifikan, langsung, konsisten, dan positif dengan keterlibatan politik. Kesim-pulan akhir, justru Islam membantu me-ngintegrasikan para penganutnya dengan sistem demokrasi melalui keterlibatan “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak percaya pada institusi politik”. Dari hasil survai ditemukan bahwa ternyata bahwa tak satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan lemahnya tingkat kepercayaan pada institusi politik. Sebaliknya, Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 317. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 189-217. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 318. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 ada sejumlah indikasi yang menegaskan bahwa Islam memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan kepercayaan pada institusi ini. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa dari sudut pandang stabilitas demokrasi, ternyata tidak ada indikasi bahwa Islam dapat mengakibatkan destabilitasi pemerintahan demokrasi. Justru sebaliknya Islam memiliki kontribusi “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak puas terhadap kinerja demokrasi”. Dari hasil survai ditemu-kan ternyata tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan kepuasan terhadap kinerja demokrasi. Ternyata dari sini dapat disimpulkan bahwa tingkat kesalehan kaum Muslim Indonesia ternyata tidak terkait dengan evaluasi mereka terhadap kinerja demokrasi sebuah “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak mendukung prinsip-prinsip demokrasi”. Untuk kasus Indonesia, ternyata hipotesis ini tidak terbukti secara empiris. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan dukungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Bahkan Saeful Mujani menemukan bahwa sikap kalangan Islamis pun yang diduga kuat memiliki korelasi negatif, ternyata tidak terbukti. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Islam ternyata mempunyai dan memi-liki potensi untuk memperkuat demokrasi, seperti tentang ijtiha>d, ijma>’, ikhtila>f, dan shu> Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak mendu-kung negara-bangsa”. Dari hasil penelitian juga ditemukan bahwa ternyata hipotesis ini Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 318. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 319. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 221-250. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 320. tidak terbukti secara empiris karena tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan dukungan terhadap negara-bangsa Islami seorang Muslim, cenderung semakin kecil partisipasi-nya dalam politik, kecuali jika objek dari partisipasinya itu bersifat keislaman”.Dari hasil pengamatan ternyata hipotesis itu tidak terbukti untuk kasus kaum Muslim Indonesia. Karena tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan partisipasi politik, terlepas dari apa pun objek partisipasinya, entah bersifat keagamaan atau pun non-keagamaan. Kesepuluh,“semakin Islami seorang Muslim, cenderung semakin kecil kemung-kinannya untuk menjadi warga yang setia, dan semakin besar kemungkinannya untuk menjadi warga yang teralienasi, naif, dan apatis”. Dari hasil survai, hipotesis ini ternyata tidak terbukti. Untuk kasus umat Islam Indonesia, warga negara yang setia dan teralienasi relatif lebih aktif dalam semua bentuk partisipasi politik—yang terlembagakan dan yang tidak terlembagakan, yang konvensional dan yang non-konvensional—dibanding warga negara yang naif dan apatis. Lebih lanjut ia menemukan bahwa dikalangan warga yang setia, tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dengan statusnya sebagai warga yang penelitian di atas, Saeful Mujani menyimpulkan bahwa ternyata tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan satu unsur demokrasi. Keseluruhan proposisi bahwa Islam memiliki korelasi negatif dengan demokrasi jika mengacu pada hasil survai kaum Muslim Indonesia terbantahkan. Berdasarkan data ini, maka pendapat mereka yang menyatakan bahwa Islam mempunyai Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 321. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 253-292. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 323. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 korelasi negatif dengan demokrasi dengan mengacu pada pandangan kaum Muslim Indonesia terbantah atau secara otomatis gugur. C. SIMPULAN Dari uraian di atas, menurut hemat penulis, bahwa antara demokrasi dan shu>rabanyak sekali titik persamaannya meskipun juga ada beberapa celah perbedaannya. Lalu mengapa kita mesti takut menerima konsep demokrasi? Menurut hemat penulis, menolak demokrasi dengan alasan bahwa istilah ini datang dari Barat dan syarat akan muatan misi dan demo-krasi juga dianggap lebih mengusung sisi mayoritas dan meninggalkan minoritas, adalah pendapat yang keliru tidak objektif. Bukan-kah kita telah diajarkan oleh Nabi kita bahwa mencari hikmah boleh di mana saja. Dan hikmah itu mungkin saja datang dari negeri Barat—tidak selamanya dari Timur negara bermayoritas muslim. Sudahkah kita me-nyadari bahwa terkadang kita juga secara tidak disadari bersikap ala demokrasi, seperti dalam masalah mencari argumentasi dalam bidang fikih hukum Islam misalnya. Kita selalu mengatakan bahwa ”hendaklah dalam mencari dan mengikuti sebuah ketentuan hukum selalu berpatokan kepada jumhur ulama atau ma-yoritas pendapat ulama sebagai pegangan”. Jika mereka bersikap seperti ini, berarti mereka juga yang menolak demokrasi secara tidak disadari menjalankan ”ajaran” demo-krasi. Menurut hemat penulis, apakah pendapat ulama yang minoritas itu salah, tentunya tidak atau belum tentu bukan. Karena itu, pemikiran yang bijak haruslah menjadi acuan dan pegangan, baik dalam melihat permasalahan demokrasi atau pun yang kasus umat Islam Indonesia berdasarkan penelitian Saeful Mujani dalam bukunya “Muslim Demo-krat” ternyata umat Islam Indonesia begitu menerima dan berhubungan positif dengan konsep demokrasi yang selama ini dianggap ”mahluk asing” dan bertentangan dengan ajaran Islam. Wallahu a’lam. DAFTAR PUSTAKA Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Alquran dan Sunnah. Diterjemahkan oleh Kathur Suhardi. Jakarta Pustaka al-Kautsar, 1997. Al-Syawi, Taufiq. Syura Bukan Demokrasi. Diterjemahkan oleh Djamaluddin ZS. Jakarta Gema Insani Press, 1997. Al-Nabh}ani, Taqiyuddin. Niz}am Al-Isla>m. 2001. Esposito, John L. Islam dan Politik. Jakarta Bulan Bintang, 1990. Esposito, John L., dan James P. Piscatori. “Islam and Democracy.” Middle East Journal VL, no. III 1991. ———. “Islam dan Demokrasi.” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam April-Janu, no. 4 1994. Esposito, John L., dan John O. Voll. Demokrasi di Negara-Negara Muslim. Bandung Mizan, 1999. Ghafar, Afan. “Demokratisasi dan Prospeknya di Indonesia Orde Baru.” Di Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, diedit oleh Elza Peldi Taher. Jakarta Paramadina, 1994. Heikal, Muhammad Husein. Pemerintahan Islam. Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta Pustaka Firdaus, 1993. Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations Remaking of The World Order. New York Simon and Schuster, 1997. Huwaidi, Fahmi. Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani. Diterjemahkan oleh M. Abdul Ghofar. Bandung Mizan, 1996. Huwaydi, Fahmi. Al-Isla>m wa al-Demuqra>ti>yah. Kairo Markaz al-Ahram, 1993. Kamil, Sukron. Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis. Jakarta Gaya Media Pratama, 2002. Kedourie, Elie. Democracy and Arab Political Culture. Portland Frank Cass, 1994. Lewis, Bernard. What Went Wrong ? Western Impact and Middle Eastern Response. Oxford Oxford University Press, 2002. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Maarif, Muhammad Syafi’i. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta LP3ES, 1985. Magnis-Suseno, Franz. “Demokrasi Tantangan Universal.” Di Agama dan Dialog Antar Peradaban, diedit oleh M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher. Jakarta Paramadina, 1996. Manzu>r, Ibn. Lisa>nul ’Arab. Jilid 4. Beirut Da>r al-Shadr, 1968. Memon, Ali Nawaz. “Membincang Demokrasi.” Di Islam Liberalisme Demokrasi, diterjemahkan oleh Mun’im A. Sirry. Jakarta Paramadina, 2002. Mujani, Saiful. Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru,. Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2007. Musa, Muhammad Yusuf. Niz}a>m al-H{ukm fi>>> al-Isla>m. Kairo Da>r al-Katib al-Arabi>, Rahardjo, Dawam. “Syura.” Jurnal Ulumul Qur’an 1, no. 1 1989. Sammarah, Ih}sa>n. Mafhu>m Al-'Ada>lah Al-Ijtimaiyah fi> Al-Fikri> Al-Isla>mi> Al-Mu’as}ir. Bairut Da>r Al-Nahd}ah Al-Isla>miyah, 1991. Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan Alquran. Bandung Mizan, 1996. Sihbudi, Riza. “Bahasa dalam Kelompok Syi’ah, Kasus Vilayat Faqih.” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, no. 5 1994. ———. “Masalah Demokratisasi di Timur Tengah.” Di Agama, Demokrasi, dan keadilan, diterjemahkan oleh M. Imam Aziz. Jakarta Gramedia, 1993. Sulaiman, Sadek J. “Demokrasi dan Shura.” Di Islam Liberal, diedit oleh Charles Khurzman, diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Jakarta Paramadina, 2003. Zahrah, Muhammad Abu. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta Logos, 1996. ... Furthermore, Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world. It is a model for other countries that Indonesia is a country with a Muslim majority that can maintain peace and democracy, while Indonesia is not a country based on Islamic law 1. Even when referring to Hillary Clinton's statement "Learn Islam to Indonesia", it shows that Indonesia can be an example of how the existence of the majority of Muslims can maintain the pluralism of peace of life as a nation and state, when compared to other countries that have a majority Muslim population and even countries based on Islamic law 2. ...Nahdliyatul Islamiyah Muhammad Turhan YaniThis study aims to determine the implementation of democracy in the Student Activity Unit of the Islamic Spiritual Activity Unit, State University of Surabaya. In this organization not only examines the religion of Islam but also applies the values of democracy applied in the Indonesian state. Democracy implies the meaning of power which is essentially the people who hold the highest mandate in democracy. The essence of democracy is of the people, by the people and for the people. Judging from the meaning of the word democracy, it is clear that the people play an important role. However, in practice it can be understood and implemented differently, even development is very uncontrolled. In the UKKI UNESA organization, it should be in line with the values that exist in democracy and the creation of freedom and deliberation to reach consensus. The research method used is qualitative. Data collection techniques used are interviews, observation, and documentation. Informants in this study were the general chairman, functionaries, and members. The conclusion of this study is that the implementation of democratic values in the organization of the Islamic Spiritual Activity Unit is in line with the principles of Pancasila democratic values which refers to Cipto's theory in journal Aulawi, A., & Srinawati 2019, although it is not perfect yet. The results of this study are expected to be useful and contribute to balancing thoughts on the application of democratic values and can add to the treasures of thoughts for writers and readers in general regarding democratic values. Keyword Democracy, Organization, DiscussionMuhamad Ferdy FirmansyahIndonesian democracy from every period of government will continue to experience development towards maturity. In the life of the state, corruption cannot be separated. The role of political institutions and democratic maturity is very large in eradicating corruption, collusion and nepotism. This study uses secondary data, with used the Indonesian Democracy Index IDI and the Anti-Corruption Perspectives Index Indeks Persepsi Anti-Korupsi/IPEK which is sourced from the Indonesian Central Statistics Agency. Data processing using multiple linear regression statistical analysis. The Indonesian Democracy Index consists of variables of the role of the DPRD, the role of political parties, the role of the local government bureaucracy and the role of an independent judiciary. It was found that the role of DPRD has a significant positive effect on IPAK, the role of political parties has a significant negative effect on IPAK, the role of local government bureaucracy is significant positive and the role of an independent court is not significantly negative for IPAK. It is hoped that to improve the social community that is aware on anti-corruption, it is necessary to increase the role of the DPRD and the role of the local government bureaucracy in accordance with their duties and functions in the government together to eradicate corruption and form a new culture oriented towards the prevention and eradication of FajarThis studyattempts to analysethe relationship between Islam and democracy objectively with logical rational arguments. It aims to clarify the differences between Islam and democracy in terms of values and concepts, in addition to explaining the reasons for the rejection of some Muslims against democracy and the arguments underlying their rejection. Then, itattempts to draw a theoretical relationship between Islam and democracy by asking critical questions, logical assumptions, and arguments that rely on the empirical practice of implementing democracy in Indonesia. Islam and democracy were born from two different ontological areas. Islam as a religion is believed to be sacred and absolute truth because ontologically its teachings come from God. While the democratic political system was born from the historical trajectory of human cultural development, it means that democracy is profane secular, and the truth is contextual perspective of the status quo of Muslim elite power politics. The concept of democracy in terms of genealogy, values, and orientation is not entirely the same as Islamic teachings, but it is not denied that Islamic teachings are in many respects substantially in line with the concept of democracy. Thus, Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world, so it is fitting for Indonesian Muslims to become enforcers of democracy based on human religious values. That is a model of democracy that not only provides a place for the growth of people's beliefs or religiosity, but also provides space for the realization of human rights. Therefore, democracy as a concept, in its implementation, of course, must be adapted to the context and culture of the local community, especially Islamic communities such as in Indonesia and in the Middle Rusdi MuhammaddiahRachid Ghannouchi merupakan salah satu tokoh politik Islam terkemuka di Tunisia. Berbagai ide dan gagasannya terangkum dalam Partai politik yang telah didirikannya yang berhaluan kepada nilai dan ajaran Islam yang diberi nama Partai en-Nahda. Belum lama ini, partai yang dipimpin oleh Rachid Ghannouchi tersebut telah mengumumkan fase baru dalam perpolitikannya yaitu dengan mengusung konsep Islam Demokratis al-Islam al-Dimuqratiyah yang sejatinya belum dikenal di negara tersebut dan diklaim merupakan bagian dari ideologi partai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tulisan ini bertujuan untuk melihat langkah yang telah diambil oleh Ghannouchi melalui konsep Islam demokratis al-Islam al-Dimuqratiyah, bagi umat Islam ide non-konvensional Ghannouchi ini dipandang sebagai sesuatu yang baru dan tepat untuk zaman demokrasi modern, khususnya dari epistimologi Islam Politik’ konvensional ke paradigma yang lebih ekslusif dan sesuai dengan realita perpolitikan modern. Hanif Aidhil AlwanaLaw is the result of Fuqaha's ijtihad regarding an act of mukallaf, in its understanding Islamic law is derived from the al-Quran and Sunnah. Although the existence of the al-Qur`an and the Sunnah is not in doubt, the understanding of law from these sources often experiences ikhtilaf differences of opinion, besides this the risk of causing divisions in society, these problems are influenced by schools of legal thought. This paper will describe the history of these schools of thought and their relevance in establishing law. The method used was descriptive analysis, with a qualitative approach based on the content content analysis of previous writings. In this paper, it is found that the difference in legal opinion is influenced by the way of thinking of the mujtahid which is divided into mutakallimin schools which are identical to understanding the legal text; fuqaha with the style of rules and legal reasons extracted from the law-making text syari` or also termed a contextual style; and a combination that seeks to combine the two types of legal understanding, this gives birth to different legal features. This is the scientific treasure of Islamic law which must be developed in the future to always exist in answering legal problems in the Ulfah Ridho Al-HamdiABSTRAK. Penelitian ini membahas tentang evaluasi Peraturan Daerah Perda Nomor 10 Tahun 2007 tentang ketertiban sosial di Kabupaten Banjar. Selain itu, studi ini ingin mengetahui faktor-faktor yang mendukung keberhasilan dan kegagalan penerapan Perda ini. Secara metodologis, studi ini merupakan hasil dari penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi dan wawancara mendalam. Untuk mengukur evaluasi Perda, studi ini enam indicator efektifitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas, dan ketepatan. Temuan studi ini menunjukkan, bahwa dari enam indikator, hanya satu indikator saja yang dianggap berhasil yaitu indikator perataan. Sementara itu, lima indikator lainnya bisa dipastikan tidak berhasil. Hal ini menjadi dasar bagi kesimpulan studi ini, bahwa kebijakan tentang ketertiban sosial ini dapat dikategorikan gagal. Sejumlah faktor turut mempengaruhi kegagalan penerapan Perda ini yaitu efektifitas, kecukupan, dan perataan. Karena itu, kinerja pemerintah harus lebih serius lagi dalam menyelesaikan persoalan tersebut serta tidak pandang bulu dalam memberantas segala perilaku masyarakat yang bertentangan dengan ketertiban sosial sesuai Perda tersebut. Kata Kunci Evaluasi; Ketertiban Sosial; Peraturan Daerah Syariah; Kabupaten BanjarSyaiful BahriSome issues in various classical political fiqh literatures are irrelevant if applied in the current context. This paper discusses how important the reconstruction and renewal of several issues in classical political fiqh is adapted to the plural Indonesian context. In this study, the author uses the Maqasid al-Shariah theory and Ahmad ar-Raisuni’s thinking which specifically addresses political issues as the main frame of analysis. By conducting a library study, this study concludes that several issues in classical political fiqh are indeed irrelevant to the times, and therefore need to be updated and reviewed. In additions, this study also has resulted in a new construction of Indonesian political fiqh which formulated in four crucial issues democracy, state format, criteria for leaders in Indonesia, and application of Islamic Law Shariah.Beberapa isu dalam pelbagai literatur Fiqh Siyāsah klasik sudah tidak relevan jika diterapkan dalam konteks saat ini. Tulisan ini mendiskusikan bagaimana pentingnya melakukan rekonstruksi dan pembaruan terhadap beberapa isu dalam Fiqh Siyāsah klasik disesuaikan dengan konteks Indonesia yang plural. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori Maqāsid al-Shariah dan pemikiran Ahmad ar-Raisuni yang secara spesifik membahas persoalan politik siyāsah sebagai pisau analisis utamanya. Dengan melakukan studi kepustakaan, kajian ini menghasilkan kesimpulan bahwa beberapa isu dalam literatur Fiqh Siyāsah klasik memang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, dan sebab itu perlu dilakukan pembaruan dan tinjauan ulang. Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan konstruksi baru Fikih Politik Indonesia yang dirumuskan dalam empat isu krusial demokrasi, bentuk Negara, kriteria pemimpin di Indonesia, dan penerapan syariat Islam. Toto SuhartoThe study of radicalism among students of State Islamic Institutes shows a significant increase within the recent decade. This article attempts to analyze the level of moderate understanding of the students of the State Islamic Institute IAIN Surakarta. The survey involves 100 students. The past educational background of each student has been deeply explored to figure out the basics of religious understanding they hold. The qualitative and quantitative designs were employed to measure the level of students" understanding of moderate Islam. This study finds that the students of IAIN Surakarta hold the moderate understanding of Islamic teachings. The number reaches 87%. The majority of moderate respondents are graduated from madrasah and pesantren. This is so because pesantren and madrasah, they graduated from, put a strong emphasis on cultivating moderate religious doctrines. This is different from that of general high school graduate students in which they learn the Islamic doctrines from Rohani Islam Rohis. It has been found that the Rohis commonly hold radical and intolerant religious doctrines. This is understandable since the Rohis tends to understand Islamic doctrines textually and scripturally; different from that of Islamic teachings promulgated by pesantren and madrasa. Mokhamad SukronFalsehood bidah becomes an interesting study for Moslem scholars especially on the matters of worship and ritual practices. The committee of tarjîh al-Qur’ân justifies falsehood by referring to H{adith used as the guide and method. The interpretative result toward the h}adith causes different perspective among Moslem scholars. There are three important points that will be elucidated in this article first what method uses MTA in conceiving h}adith in relation with falsehood, second how MTA perspective of bidah, and third is re-construction the h}adith bidah according to MTA. MTA explains that what is called bidah in prophet’s h}adith is bidah in the matter of religion worship that certainly misleading. Yet, the falsehood in relation with worldly matter for MTA must be given a space to branch out as long as it gives positive impact and push people creativity in general meaning. It is suitable with prophet’s h}adith said that “man sanna sunnah h}asanah..... man sanna sunnah sayyiah...”. In this condition, MTA indirectly admits the variant of the bidah. But the ordinary classification differs with the ulama’s classification either in terms of mutaqadimîn or muta’akhirîn, in general point of view, otherwise the classification is in contrary with the religious matters and worldly Tantangan UniversalFranz Magnis-SusenoMagnis-Suseno, Franz. "Demokrasi Tantangan Universal." Di Agama dan Dialog Antar Peradaban, diedit oleh M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher. Jakarta Paramadina, Islam Liberal, diedit oleh Charles Khurzman, diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Jakarta ParamadinaSadek J SulaimanSulaiman, Sadek J. "Demokrasi dan Shura." Di Islam Liberal, diedit oleh Charles Khurzman, diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Jakarta Paramadina, 2003. Zahrah, Muhammad Abu. Aliran Politik dan 'Aqidah dalam Islam. Diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta Logos, Islam. Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta Pustaka FirdausMuhammad HeikalHuseinHeikal, Muhammad Husein. Pemerintahan Islam. Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta Pustaka Firdaus, di Negara-Negara MuslimJohn L EspositoJohn O DanVollEsposito, John L., dan John O. Voll. Demokrasi di Negara-Negara Muslim. Bandung Mizan, Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 17Bahasa dalam Kelompok Syi'ah, Kasus Vilayat Faqih Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran IslamRiza SihbudiSihbudi, Riza. " Bahasa dalam Kelompok Syi'ah, Kasus Vilayat Faqih. " Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, no. 5 1994.Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Alquran dan SunnahYusuf Al-QardhawyAl-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Alquran dan Sunnah.
pandangan ulama tentang demokrasi